Milenial Punya Rumah? Berat, Tapi Bukan Mustahil

Pasti banyak generasi milenial yang punya pertanyaan kayak gini, “Mungkin nggak ya kita punya rumah sendiri?”.
sumber ilustrasi foto: riausky.com
Gue yang termasuk salah satu makhluk milenial di negeri ini juga pernah terbersit pertanyaan itu. Terngiang-ngiang malah. Apalagi kalau sudah “memberanikan” diri menikahi anak orang yang telah menjadi tambatan hati, tentu para pria juga ingin menghadiahi istri dan anak-anaknya sebuah rumah. Tempat sekeluarga berlindung dari terik matahari. Dari derasnya air hujan.

Tapi, balik lagi hadir pertanyaan seperti di atas. “Mungkinkah?” (Bukan judul lagunya Andre Taulany atau Stingky loh).

Gue yang udah 10 tahun tinggal di (perbatasan) Bumi Serpong Damai alias BSD, tentu udah nggak asing dengan bermacam spanduk sampe baliho iklan rumah. Dari harganya ratusan juta sampe miliaran rupiah.

Dengan gaji yang Alhamdulillah ngepas, akhirnya Agustus 2017, gue dan istri menekatkan diri untuk mencari rumah. Setelah pertimbangan masak-masak, terutama soal harga yang menyesuaikan gaji bulanan sebagai karyawan remah-remah. Kami memutuskan untuk memilih satu unit rumah di Serpong Garden 2. Te-Ka-Pe perumahannya masuk wilayah Cisauk, Kabupaten Tangerang. Yang hanya 5 menit dari Stasiun Cisauk. Terus 10 menit dari AEON Mall BSD (penting amat ini?). Jarak tempuh itu dihitung menggunakan motor ya.

Baik sekarang masuk ke poin utama tentang kisah kami membeli rumah itu. Ketika bertemu marketing alias si tukang jualan rumah, kami mendengarkan berbagai penjelasan soal fasilitas rumah. Mulai dari luas bangunan, luas tanah, sampe fasilitas di kompleks perumahan itu. Terus topik berlanjut ke hal yang kalau bisa dipilih, lebih baik di-skip aja. Yakni soal biaya-biaya. Biaya-biaya, saudara.

Untuk menjamin kita sebagai konsumen serius membeli unit rumah itu tentu developer meminta kita membayar uang tanda jadi. Kala itu, kami membayar Rp 5 juta. Syukurnya uang itu nggak sekedar tanda jadi, tapi kita juga dapat hadiah berupa dua unit AC dan pemanas air. Hadiah itu baru bisa diambil ketika kita telah resmi melakukan akad kredit dengan bank. Atau melunasi pembayaran rumah kalau punya duit lebih buat beli rumah tunai.

Karena kami generasi milenial yang ngepas, maka kami memilih untuk menyicil uang muka selama satu tahun. Tujuannya untuk meringankan jumlah pengajuan kredit nanti ke bank. Harga rumah yang kami beli sekitar Rp 541 juta. Kalau ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, maka total harga tanah dan bangunan menjadi Rp 595 juta. WOW!
sumber ilustrasi foto: bangkapos.com
Melalui kesepakatan dengan pihak developer, kami membayar uang muka sebesar Rp 4,5 juta per bulan selama 12 bulan. Jadi, totalnya Rp 54 juta. Udah cukup biaya umrah buat 2 orang, hehehe.

Jelang satu tahun berlalu, kami mengajukan KPR ke bank untuk membayar pembelian unit rumah kami. Setelah dipotong uang muka, jumlah pengajuan kredit kami berjumlah sekitar Rp 481 juta.

Untuk mengajukan KPR, kami menyerahkan sejumlah berkas, seperti fotocopy KTP berdua, fotocopy NPWP, fotocopy buku nikah, fotocopy kartu keluarga, slip gaji 3 bulan terakhir, surat keterangan karyawan dari kantor, dan rekening koran 3 bulan terakhir. Terus, nanti kita diminta ngisi formulir pengajuan KPR dan berkas persetujuan untuk pengecekan pinjaman atau hutang di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Setiap bank punya mekanisme berbeda, namun berkas yang diserahkan umumnya serupa. Untungnya sekarang sudah canggih. Jadi, beberapa bank cukup kita kirimkan softfile berkas-berkas itu via email milik marketing yang berkorespondensi dengan kita.

Tanpa berpanjang lebar, akhirnya pengajuan KPR kami disetujui oleh Bank Rakyat Indonesia alias BRI. Dengan masa kredit 240 bulan atau 20 tahun. Kok lama amat? Iya, karena kami mampunya segitu, biar sebulan masih bisa hidup, meski harus prihatin,😁.

Tapi, di sinilah hadir “pengorbanan-pengorbanan” lain. Sekaligus jadi pengalaman bagi kami. Karena beli rumah itu, nggak cukup kalau hanya menyediakan duit sesuai harga rumahnya.

Oke lah, beli rumah dicicil melalui KPR dan kita harus setiap bulan membayar KPR. Tapi, sebelum melakukan akad kredit dengan bank, ternyata eh ternyata, ada banyak dana yang juga diperlukan.

Sebab, sebelum akad, kami harus membayar biaya yang ditetapkan developer, bank, dan notaris.


Biaya developer itu meliputi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang besarnya 5 persen dari total harga rumah. Kemudian, kami juga membayar biaya Iuran Pemeliharaan Lingkungan atau IPL. Kalau IPL ini, tiap perumahan beragam mulai di kisaran Rp 50 rebu sampe tak terhingga. Semakin gede IPL-nya, semakin mewah juga perumahannya. Nah ongkos ini, mengacu harga rumah kami, mencapai sekitar Rp 23 juta.

Kemudian, biaya bank untuk akad meliputi biaya provisi, biaya administrasi, premi asuransi debitur, premi asuransi istri/suami (kalo ngajuin KPR berdasarkan joint income), premi asuransi kerugian, dan minimum saldo di bank. Jumlah bank itu tentu berbeda bagi setiap bank. Kemaren, kami membayar sekitar Rp 9 juta.

Untuk biaya notaris, muncul biaya-biaya seperti akta Perjanjian Pemberian Jaminan dan Kuasa(PPJK), cek sertifikat, cek zona nilai tanah, Penerimaan Negara Bukan Pajak(PNBP) Balik Nama, cek sertifikat, akta perjanjian kredit, akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dan PNBP Hak Tanggungan. Nah, biaya urusan kelancaran pengurusan tanah dan rumah di notaris itu sekitar Rp 8 juta.

Jadi, kalau dihitung-hitung sebelum resmi melakukan akad KPR, saya yang membeli rumah dengan luas bangunan 36 m2 dan luas tanah 77 m2, memerlukan dana tunai capai Rp 50 juta. Gede banget, kan? Gue pas mikirin ini aja sempet pusing, mual-mual, dan nggak napsu makan tiba-tiba.

Dengan hitungan yang jeli dan detail, kami Alhamdulillah udah melaksanakan akad kredit 30 Juli kemaren. Jadi, mulai bulan depan sampe 20 tahun mendatang, kami akan perlahan menyicil kredit pembelian rumah.

Biar nggak sakit hati, gue nggak bakal ngitung berapa akumulasi jumlah kredit KPR gue, hahaha. 

Intinya, milenial tetep mungkin kok buat beli rumah. Koentji-nya harus jeli di mana lokasi rumah karena itu menentukan harga rumah. Meski sulit dan terkesan mustahil, kalau kita berusaha dan mau luangkan waktu untuk cari rumah yang pas dari sisi lokasi dan harga, insyallah, kita bisa dapetin yang sesuai. Sesuai kantong pastinya. Dan yang pasti, harus rajin berdoa semoga segala urusan dimudahkan. Amiiin….

Selamat berjuang ya buat teman-teman yang masih hunting rumah. Doa kami menyertaimu. 😃
Tampak depan (bukan) rumah kami...

Komentar

Postingan Populer