Love in the Time of Cholera (review)


”The only one regret of my life is I didn’t die for love…”

Tak ada yang mampu mengalahkan kekuatan cinta sejati yang kita miliki, meski hal itu mesti mengorbankan perasaan dan waktu yang cukup lama, namun bila tiba waktunya cinta itu akan kembali ke pelukan kita. Karena cinta sejati hanya ada sekali, dan cinta sejati tak hanya memerlukan kesungguhan tapi juga momentum untuk mendatangkannya.

Kurang lebih seperti itulah petikan pesan yang tersirat di dalam film Love in the Time of Cholera. Film keluaran tahun 2007 karya sutradara Mike Newell, yang diadaptasi dari novel Kolombia yang berjudul “El Amor en lo Tiempos del Colera” karya peraih nobel, Gabriel Garcia Marques.

Love in the Time of Cholera mengisahkan sebuah cinta segitiga antara Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno) dengan dua pria pemujanya, Florentino Ariza (Javier Bardem) dan Dokter Juvenal Urbino (Benjamin Bratt) pada kurun waktu 1879 hingga 1930 dan berlokasi di Cartagena, Kolombia.

Kisah diawali ketika Fermina yang sudah uzur menghadiri pemakaman suaminya, dan setelah ia kembali ke rumah, ia melihat sosok Florentino tua, yang mengatakan, “Aku sudah menantikan momen ini selama 51 tahun, 9 bulan dan 4 hari”. Fermina yang sedang berkabung tenyata tidak menghendaki kehadiran Florentino, dan tanpa banyak basa basi ia mengusir Florentino dari rumahnya.

Alur cerita dilanjutkan oleh kisah masa lalu kedua insan tersebut.

Florentino muda jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Fermina, ketika ia mengantarkan telegram kepada Ayahnya Fermina, dan disaat itu pula Florentino merasakan telah menemukan cinta sejati dalam hidupnya, dan perasaan itu ia ungkapkan dengan lembar demi lembar surat yang ia tulis untuk Fermina. Surat itu bisa Florentino berikan langsung kepada Fermina ketika ia menemui gadis pujaannya itu di gereja ketika Fermina, bersama Ayah dan Tantenya, menghadiri misa natal. Hari demi hari Florentino menanti balasan, dan penantiannya itu berakhir ketika Tante, sekaligus orang terdekat Fermina, mengantarkan surat itu ke tempat pengiriman telegram, tempat Florentino bekerja. Namun, kebahagiaan kisah cinta kedua insan muda ini tak berlangsung lama karena Ayah Fermina tak menyetujui hubungan mereka, oleh karena itu pula Fermina dibawa oleh Ayahnya menuju desa tempat dimana sepupu dan neneknya tinggal. Dan disinilah awal penantian Florentino dimulai.

Ketika Fermina pergi entah kemana, Florentino setia menunggu. Florentino menunggu di mercusuar sembari menantikan kedatangan kapal laut yang menghantarkan Fermina kembali kepadanya. Namun, semua itu sia-sia.

Selang beberapa waktu akhirnya Fermina kembali, namun Fermina yang sekarang telah berubah, bukan lagi Fermina yang Florentino kenal dahulu. Bahkan Fermina telah menganggap kisah mereka berdua di masa lalu hanyalah ilusi belaka. Dan, itulah momen yang menyesakkan dalam kehidupan Florentino, Dewi Mahkotanya, ternyata telah melupakan semua kenangan akan mereka berdua. Semua bertambah perih disaat Fermina memilih menerima pinangan Dokter Juvenal Urbino—dokter yang ia temui ketika ia diduga terkena kolera—yang juga disetujui oleh Ayahnya. Fermina hidup bahagia bersama suaminya. Sebagai orang terpandang Dr. Urbino sering membawanya ke dalam pertemuan-pertemuan kelas atas di masa itu.

Fermina telah dikarunia anak, dan saat itu menjadi titik balik dari kehidupan Florentino. Dengan kepandaiannya menulis kata-kata cinta nan puitis ia diangkat menjadi juru tulis di The River Company of Carribean, perusahaan di bidang surat menyurat, yang dijalankan oleh pamannya. Pilihan Florentino untuk bekerja semata-mata agar ia bisa dipandang terhormat oleh para wanita, yang digambarkan pada masa itu hanya memandang pria dari segi materi saja. Karier Florentino berjalan pesat, apalagi ketika Paman Leo memutuskan untuk mewariskan tampuk seluruh usahanya kepada keponakannya itu. Semua orang di kota kini telah mengenal Florentino baik sebagai pemimpin perusahaan The River Company of Carribean, juga sebagai seorang penulis puisi handal. Akan tetapi, semua itu tidak sejalan dengan kehidupan cinta Florentino. Meski, ia telah berkencan dengan 622 wanita, namun tak ada satu pun dari mereka yang mampu memudarkan cintanya kepada Fermina, cinta pertama dan sejatinya.

Di sisi lain, saat kehidupan rumah tangganya tengah dilanda masalah, Fermina terkadang terbayang akan kenangan masa mudanya dengan Florentino, namun sekali lagi ia anggap itu hanya ilusi masa lalu.

Segala penantian pasti ada akhirnya, dan penantian yang dinantikan dengan penuh rasa cinta niscaya akan berbuah manis. Dan itulah yang dirasakan Florentino. Pasca kematian Dokter Juvenal Urbino, ia kembali mengirimkan Fermina surat demi surat, meski Fermina selalu menolaknya, ia terus mengirimkan surat-surat itu. Sampai akhirnya Fermina menyetujui untuk bertemu kembali setelah 51 tahun berlalu. Dan dengan usulan Fermina pula, mereka berdua melakukan perjalanan dengan kapal laut, sekaligus melanjutkan lagi kisah-kisah masa lalu mereka yang sempat tertunda. Akhirnya, penantian Florentino akan mendapatkan cinta sejati Fermina berakhir pada, 54 tahun 4 bulan 11 hari. Selama itu pula Florentino tetap menyimpan kata-kata di dalam hatinya bahwa, “My destiny lives to love Fermina.”

Banyak yang mengatakan film garapan Mike Newell ini sangat mengecewakan dibanding novelnya yang berhasil membawa Garbriel Garcia meraih nobel di bidang sastra. Maka, tak heran para kritikus film Hollywood menilai film ini dengan huruf “D”, yang menandakan bahwa film ini amat mengecewakan. Tapi bagi saya film Love in the Time of Cholera, menyimpan kisah cinta yang amat agung, bahkan kisah cinta yang penuh kesetiaan ini sudah amat sulit ditemukan pada saat ini.

Intinya, saya terkesan dengan dialog yang ada di film itu, dialog yang penuh dengan ungkapan-ungkapan dan peran para pemeran utamanya yang amat baik membawa emosi dari peran yang mereka mainkan, sehingga film yang berdurasi 139 menit itu takkan membosankan, dan terus menyimpan rasa penasaran bagi siapa saja yang menyaksikannya.
“I love you, my Crown Goddess…”

Komentar

Postingan Populer