Bah...
Di waktu yang hampir menginjak tahun kedua saya berada di Makassar, sedikit demi sedikit membuat saya tahu beberapa kata-kata yang biasa saya gunakan ternyata berbeda arti dari yang teman-teman di Makassar artikan dari kata-kata itu. Dan dalam tulisan singkat ini saya akan membahas satu kata yang akhir-akhir ini menggelitik indra pendengaran saya; Bah…
Orang Batak biasa memadankan kata ini dengan sebutan salam khasnya; Horas! menjadi Horas, bah!. Dalam karya sastra melayu atau karya sastra terdahulu biasa menggunakan kata bah sebagai ungkapan rasa muak dan penolakan, selain pastinya berarti air yang meluap deras atau dengan kata lain disebut banjir. Dua arti ini bisa ditemukan di setiap kamus bahasa Indonesia.
Bila orang Melayu menggunakan kata bah sebuah ungkapan penolakan, dan orang Batak biasa juga menggunakan kata itu sebagai kata yang menunjukkan keintiman atau kekhususan terhadap objek lawan bicaranya. Namun bagi orang Makassar kata bah merupakan kata yang menujukkan persetujuan atau pembenaran. Sebagai contoh;
A: Apakah besok jadi main bola?
B: Bah.
Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa si B meng-iyakan pertanyaan dari si penanya (A) tentang kepastian mereka bermain bola esok harinya.
Dari penuturan teman-teman saya, kata bah itu tidak tahu pasti apakah itu dari bahasa Makassar, Bugis ataupun Mandar (tiga suku terbesar di Sulawesi Selatan). Tapi selama saya berada di Sinjai (yang bersuku Bugis) tidak pernah sekalipun saya mendengar kata itu, mungkin saja mereka disana menggunakannya juga tapi saya kurang peka ataupun memang tak ada kata itu dalam pembedaharaan kata mereka.
Pastinya bagi orang luar pulau yang baru saja berinteraksi dengan orang disini (Makassar) dan langsung mendengar ungkapan kata seperti itu akan terheran-heran, karena kata yang sudah dicap sebagai kata yang berkonotasi negatif tiba-tiba memiliki artian yang bertolak belakang. Pengalaman ini pun saya rasakan, saat saya mendengar kata itu pertama kalinya. Bahkan saya sampai menunggu teman untuk menjawab pertanyaan saya dengan jawaban “Iya”, dikarenakan kebingunan dan ketidak tahuan saya saat itu.
Namun perlahan saya sudah terbiasa mendengar jawaban seperti itu, meski saya masih sangat berharap kata itu diganti dengan “Iya” atau kata ungkapan persetujuan lainnya. Mungkin hal itu terjadi karena sugesti selama ini yang tersimpan di alam bawah sadar tentang arti dari kata itu, membuat saya masih sulit menerima kata bah itu memiliki artian yang positif atau meng-iyakan. Jadi, apa betul masih sulit menerima kata itu? Bah…
Orang Batak biasa memadankan kata ini dengan sebutan salam khasnya; Horas! menjadi Horas, bah!. Dalam karya sastra melayu atau karya sastra terdahulu biasa menggunakan kata bah sebagai ungkapan rasa muak dan penolakan, selain pastinya berarti air yang meluap deras atau dengan kata lain disebut banjir. Dua arti ini bisa ditemukan di setiap kamus bahasa Indonesia.
Bila orang Melayu menggunakan kata bah sebuah ungkapan penolakan, dan orang Batak biasa juga menggunakan kata itu sebagai kata yang menunjukkan keintiman atau kekhususan terhadap objek lawan bicaranya. Namun bagi orang Makassar kata bah merupakan kata yang menujukkan persetujuan atau pembenaran. Sebagai contoh;
A: Apakah besok jadi main bola?
B: Bah.
Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa si B meng-iyakan pertanyaan dari si penanya (A) tentang kepastian mereka bermain bola esok harinya.
Dari penuturan teman-teman saya, kata bah itu tidak tahu pasti apakah itu dari bahasa Makassar, Bugis ataupun Mandar (tiga suku terbesar di Sulawesi Selatan). Tapi selama saya berada di Sinjai (yang bersuku Bugis) tidak pernah sekalipun saya mendengar kata itu, mungkin saja mereka disana menggunakannya juga tapi saya kurang peka ataupun memang tak ada kata itu dalam pembedaharaan kata mereka.
Pastinya bagi orang luar pulau yang baru saja berinteraksi dengan orang disini (Makassar) dan langsung mendengar ungkapan kata seperti itu akan terheran-heran, karena kata yang sudah dicap sebagai kata yang berkonotasi negatif tiba-tiba memiliki artian yang bertolak belakang. Pengalaman ini pun saya rasakan, saat saya mendengar kata itu pertama kalinya. Bahkan saya sampai menunggu teman untuk menjawab pertanyaan saya dengan jawaban “Iya”, dikarenakan kebingunan dan ketidak tahuan saya saat itu.
Namun perlahan saya sudah terbiasa mendengar jawaban seperti itu, meski saya masih sangat berharap kata itu diganti dengan “Iya” atau kata ungkapan persetujuan lainnya. Mungkin hal itu terjadi karena sugesti selama ini yang tersimpan di alam bawah sadar tentang arti dari kata itu, membuat saya masih sulit menerima kata bah itu memiliki artian yang positif atau meng-iyakan. Jadi, apa betul masih sulit menerima kata itu? Bah…
Komentar
Posting Komentar