CERPEN: Mati Suri


Semua terlihat putih, menandakan sesuatu yang murni dan tulus. Aku tidak tahu apa yang membawaku berada disini, di tempat yang belum aku kenali dan teramat asing bagiku. Tak ada warna lain, selain putih yang menghiasi setiap jengkalnya. Aku mencoba untuk berjalan menelusuri tempat dimana aku berada kini. Dunia terasa sangat hampa, sehampa isi kepalaku yang masih terus mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada diriku, sehingga aku berada disini saat ini. Aku berjalan, tak lama aku percepat langkahku, lalu lari secepat yang bisa aku lakukan dengan langkah kaki, yang berangsur-angsur semakin lebar. Berulang-ulang kali aku lakukan hal itu hingga cucuran keringat jagung mengucur deras dari kening, leher, dan anggota tubuh lainnya, diikuti pula dengan napasku yang semakin berat karena lelah yang menghinggapi. Lengkaplah tubuh ini telah basah oleh keringat dan capai yang teramat sangat. Akan tetapi usahaku itu tidak pula mampu membawaku bergerak, apalagi berpindah, dari tempat awalku berdiri sedari tadi. Keadaannya masih sama. Aku tetap tak mampu menemukan jawaban dimana aku ini.
Di tengah lelah dan rasa putus asa yang menghinggapi, aku memilih untuk mengistirahatkan tubuh ini dengan duduk menekuk kedua lutut kaki, memasang kedua mata dan memandang sekeliling lebih jeli. Semakin jeli aku perhatikan, semakin aku menyadari bahwa aku seakan-akan berada di sebuah kotak putih besar, yang tak nampak jelas dimana batasan-batasan lipatan bangun ruangnya. Aku masih bertanya. Dan terus bertanya. Dimana aku ini?
Di saat rasa bingung dan penasaran makin menghinggapi diri ini, menyelimuti hati layaknya kabut mengisi cakrawala di waktu fajar. Hadirlah seseorang laki-laki yang memiliki wajah berseri laksana kilauan kristal, memegang pundakku. Memintaku berdiri menyambutnya.
“Aku Fauzan”, laki-laki itu memperkenalkan diri
Dia berdiri tepat di depanku, yang tampak masih sulit untuk memahami ini semua. Namun, namanya bukanlah nama yang asing di telingaku.
Aku menatapnya lama dan sangat dalam, tanpa berkedip. Aku terus memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung jari kakinya yang tak beralaskan itu. Makin cermat aku memandangnya, seakan-akan aku tengah melihat diriku dari dalam sebuah kaca. Rambut tebal nan lurus, mata dengan tatapan yang tajam, hidung mancung betet, bibir merah, dan kulit berwarna putih kecoklatan. Dia layaknya kloning atas diriku.
Dia mengajakku berjalan bersama, meski aku sendiri tidak mengetahui pasti kemana arah tujuan perjalanan kami. Aku hanya mengikuti dia. Saat tengah jalan bersamanya aku merasakan perubahan demi perubahan yang berangsur-angsur mulai tampak di tempat ini. Tempat ini tetap berwarna putih—seperti yang aku katakan tadi—namun putih kali ini sangat berbeda dari putih-putih yang ada sebelumnya. Putihnya penuh keceriaan dan berkah. Mungkin inilah warna putih yang sebenarnya, putih nan suci. Sayup-sayup terdengar suara insan saling berbagi tawa dan kebahagiaan. Seketika, wangi yang sangat harum dan menyejukkan mengisi rongga indra penciumanku.
“Sebentar lagi kita akan tiba di suatu tempat dimana manusia-manusia terbaik bermukim. Manusia-manusia yang mampu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya”, ungkap Fauzan, seakan mencoba menjawab teka-teki yang hadir dalam diriku.
Aku berjalan semakin cepat. Wangi harum itu memberikan kekuatan ekstra bagiku, dan melupakan kehadiran Fauzan, yang sejak tadi menemani perjalananku ini. Aku ingin segera mengetahui jawaban atas rasa penasaran di dalam diri. Dimana aku ini?
Kami telah meninggalkan tempat yang serba putih itu, lalu memasuki ke dalam sebuah tempat yang sangat indah dan tak pernah aku banyangkan ada tempat seindah ini sebelumnya. Sangat indah. Harum yang sangat menyengat seakan mengelilingi tempat ini. Wangi yang juga belum sekalipun pernah terhirup olehku, wangi yang mungkin hadir dari hasil percampuran wewangian terbaik di dunia ditambah aroma malaikat-malaikat nan suci. Tempat ini ditumbuhi bunga-bunga yang sangat cantik dan penuh warna, melebihi kecantikan semua taman bunga yang ada di dunia dan di buku-buku fiksi yang aku baca saat menghabiskan masa anak-anak dulu. Pepohonan berjejer rapi dan menawarkan buahnya yang sudah ranum, bukit-bukit hijau nan asri, dan burung-burung kecil yang berterbangan berkelompok, bergantian hadir di hadapan mataku. Seluruh insan di tempat ini juga terlihat sangat menikmati segala hal yang disuguhkan kepada mereka. Raut wajah, guratan senyum dan gerak-gerik mereka mengisyaratkan itu semua. Melihat mereka, aku merasakan ada di sebuah tempat yang khusus diciptakan dengan penuh cinta dan hanya diperuntukkan bagi kebahagiaan, kebahagiaan, dan kebahagiaan.
“Tempat ini lah yang telah dijanjikan Tuhan untuk seluruh umat manusia yang taat kepada-Nya”, bilang Fauzan
“Seperti itukah surga?” tanyaku penasaran.
Fauzan hanya diam membisu, tidak bersuara.
Lambat laun kami meninggalkan tempat indah dan harum ini. Namun sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini Fauzan memintaku berhenti di sebuah sumber mata air.
“Coba kamu pejamkan mata. Lalu bayangkanlah air yang sangat sedap yang pernah dan ingin kamu rasakan”.
Lantas aku mengikuti anjurannya itu. Aku memejamkan mata di depan sumber air itu, seterusnya aku membayangkan air yang manisnya melebihi manis susu dan memiliki warna yang lebih memikat dibandingkan sirup. Aku meyakinkan wujud cairan itu dan menyusunnya dengan sangat jelas di alam bayangku. Sesudah itu perlahan aku membuka mata, dan tanpa aku sangka sebelumnya mata air itu berubah menjadi sumber mata air yang baru saja aku lihat di dalam bayangku. Dengan rasa penasaran, tanpa pikir panjang aku mengambil air itu dengan mengadahkan air itu di kedua telapak tanganku. Aku meminumnya, menikmati setiap tetesnya. Dan rasanya…oh…seakan-akan semua organ tubuhku ikut meminumnya dan merasakan nikmatnya, tak hanya mulutku. Sumber mata air itu sungguh bukanlah mata air biasa. Mata air yang berada di sumber kebahagiaan dan keberkahan, tidak memiliki perbandingan yang sepadan di dunia.
Fauzan kembali mengajakku berjalan hingga kami benar-benar telah meninggalkan tempat itu. Saat langkah telah menjauh, seakan sedih menggelayuti perasaan ini. Karena sesungguhnya di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku enggan meninggalkan tempat itu. Namun, apa daya tempat itu belum pantas bagiku dan langkah kaki ini masih ingin terus melanjutkan langkahnya. Saat kami telah berjalan cukup jauh dari tempat itu, Fauzan bertanya.
“Kamu yakin mau terus berjalan atau ingin berhenti disini?”
Ingin rasanya aku terus berjalan ke tempat selanjutnya, tapi hati ini tiba-tiba meragu. Langkah kakiku melambat, menandakan keengganannya menuju tempat tujuan kami selanjutnya. Ragu itu hadir seketika saat hawa panas tiba-tiba menyerang seluruh permukaan tubuh, panas yang sangat-sangat menyengat. Panas itu mampu mengelupas permukaan kulit ini dan membakarnya menjadi abu dalam sekejap. Di tambah lagi suara-suara jeritan nan penuh penyesalan terdengar nyaring dan membisingkan telingaku, menyiutkan segala asa dan keberanian di dalam diri. Aku meragu dan menghentikan langkah tanpa mendengar komando dari Fauzan.
“Disana itu tempat bagi manusia-manusia yang jauh dari keinginan Tuhan”, kata Fauzan mantap.
“Seperti itukah neraka?” tanyaku dalam hati, tanpa meminta jawaban.
“Karena bagimu ini semua sudah cukup, maka aku harap kamu mau menunggu disini barang sejenak. Aku akan kembali.”
Aku kembali berdiam diri, memperhatikan Fauzan yang berjalan menjauh meninggalkanku. Dalam kedipan mata ia telah menghilang. Dalam kedipan mata berikutnya ia telah hadir kembali di hadapanku bersama orang-orang yang aku cintai dan telah meninggalkanku lebih dulu di dunia; Kakek-Nenekku, Tante Anti dan Sinta, sahabat kecilku yang minggu lalu baru saja kembali menghadap sang Khalik. Mereka semua tersenyum kepadaku, menyambutku ramah. Aku masih belum mengetahui apa yang telah terjadi padaku. Ada apa denganku? Dimana aku ini? Terngiang-ngiang di kepalaku.
Mereka memintaku mendekat. Aku tetap terpaku di tempatku berdiri. Ingin rasanya memenuhi ajakan mereka, namun hati ini ragu disaat tiba-tiba aku mendengar suara Ayah dan Ibu memanggil namaku. Suara panggilan itu? Iya, suara-suara yang masih sama seperti saat menjelang senja memanggil namaku untuk segera pulang, saat aku tengah asyik bermain dengan teman-temanku di taman depan rumah. Aku merindukan panggilan itu. Sangat merindukan Ayah dan Ibu. Dimana aku ini?
“Kembalilah, nak. Kembalilah. Belum saatnya kau ada disini”, kata seorang pria tua berpakaian serba putih yang hadir di antara orang-orang yang aku kenal dan Fauzan. Wajah putihnya mengisyaratkan ketenangan dan wibawa yang penuh kasih sayang.
“Kamu belum saatnya disini. Waktumu masih sangat panjang. Orang tuamu masih sangat membutuhkan kehadiranmu. Kembalilah, nak. Lanjutkanlah hidupmu di dunia.” Tegas pria tua itu dengan sangat tenang dan syahdu.
Aku hanya diam mencoba mencerna setiap kata perkataan pria tua itu.
Aku mengikuti apa yang diucapkan pria tua itu. Aku membelakangi mereka, meninggalkan mereka dengan lari sekuat tenaga. Berlari terus dan terus tanpa menghiraukan apapun.
Mataku terbuka.
“Fani… Fani… Kamu sudah sadar, nak?” jerit Ibuku penuh kesenduaan.
Dengan sangat erat Ibu memelukku, seakan-akan aku baru saja meninggalkannya. Lalu, diikuti Ayah dan Kak Farah. Mereka menangis terharu. Sedangkan aku masih tak tahu apa yang terjadi. Yang aku lihat adalah puluhan tetangga dan keluarga yang sudah berkumpul di ruang utama rumahku dengan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an.
“Darimana saja kamu, nak Fani?” Tanya Pak Ustadz Mughni, guru ngajiku, yang telah hadir di rumahku untuk memimpin pengajian.
Untuk melepas seluruh rasa bingung dan penasaran yang menghinggapi diri, aku menceritakan apa yang telah aku alami. Mulai dari pertemuanku dengan Fauzan, lalu mencium aroma yang harum semerbak dari sebuah tempat teristimewa hingga hawa panas menyengat yang membakar kulit.
Mendengar kisahku itu Ustadz Mughni memberitahuku bahwa aku baru saja mengalami mati suri. Karena aku telah tidak sarkan diri selama dua hari dua malam, sejak aku tiba-tiba pingsan dan terjatuh di sekolah. Dan kemarin saat dokter memeriksaku, ia mengatakan bahwa aku telah tiada. Ayah dan Ibu juga memberitahuku perihal Fauzan, ternyata ia adalah saudara kembarku yang meninggal dunia saat masih berumur tujuh hari. Lega hati ini setelah mendengar penjelasan mereka, dan itu semua sudah sangat cukup untuk menjawab rasa penasaranku.
Dan kini aku masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri di dunia ini sebelum benar-benar kembali kepada-Nya. Apa yang telah aku alami mengajariku bahwasanya kematian bukanlah akhir melainkan sebuah permulaan bagi kehidupan yang abadi dan kekal. Aku juga telah berikrar dalam diri untuk menjadi insan yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, agar kelak aku bisa kembali mencium aroma wangi harum semerbak dan merasakan sumber mata air yang nikmat itu. END…
Makassar, 7 Desember 2011 / Pkl. 6.00

Komentar

Postingan Populer