Cerpen : A L I E N
Bagi kalian aku hanyalah sesosok makhluk asing atau biasa kalian sebut ALIEN. Bila secara kasat mata dilihat dari fisikku, tak akan ada perbedaan yang terlihat bila dibandingkan dengan kalian. Rambut, mata, hidung, bibir, telinga, hingga anggota tubuh lainnya aku sama saja dengan kalian. Mungkin hanya ada satu hal yang mampu menjadi pembeda antara aku dan kalian, yakni bahasa. Bahasaku dan yang digunakan oleh sosok-sosok sebangsaku hanya memiliki beberapa ratus kata, yang bisa kalian kuasai seluruhnya hanya dalam waktu tiga hari dua malam. Bahasaku mungkin menjadi bahasa paling sederhana di jagad raya.
Aku berasal dari sebuah planet di luar gugusan Bima Sakti. Sebenarnya jarak planetku tak jauh dari planet kalian, Bumi. Namun, planetku dianugerahi lapisan terluar yang sangat rumit dan berfungsi sangat baik sebagai pelindung, sehingga tak mampu dideteksi keberadaannya oleh alat tercanggih pun yang bisa diciptakan oleh manusia Bumi. Planetku juga tak memiliki nama. Aku tidak pernah tahu mengapa tidak ada satu sosok pun yang berani memberikan nama planet kami karena hal ini didasari oleh mitos yang telah tersimpan selama berjuta-juta tahun di antara kami.
Sebelumnya aku tak pernah memiliki ketertarikan apapun dengan dunia luar. Aku sangat nyaman dengan duniaku, dunia yang penuh dengan penderitaan dan kepedihan. Itulah yang melanda planetku tanpa pernah pergi. Langit mendung selalu menggelayuti, hujan tak pernah usai. Sekalipun ada sinar mentari hal itu tak pernah menghilangkan duka kami karena sengatan panasnya seakan-akan sang mentari ingin ikut serta menambah penderitaan dan kutukan di kehidupan kami. Pohon berguguran, kepulauan menjadi lautan air mata. Semua pilu dan penuh kegetiran.
Saat mendengar ada planet, yang bernama Bumi, penuh kebahagiaan dan tawa membuat aku penasaran. Tergerak batinku untuk menikmati kebahagiaan dan tawa lepas nan penuh arti. Inginku hilangkan sejenak pipi cemberut dan bibir yang berkerut dari tampak wajahku.
Dengan niatan itu, aku siapkan satu kendaraan canggih yang aku miliki, UFO, yang akan mengantarku mendarat di Bumi. Sebelum berangkat guna bertamasya ke Bumi dan pertama kali meninggalkan planetku tercinta, aku sudah mendengar kabar bahwa manusia Bumi sangat penasaran dengn kehadiran UFOku. Sehingga untuk menghindari kontroversi yang kelak terjadi, aku memutuskan pada kunjungan pertamaku ini aku hanya akan mengelilingi Bumi dengan UFO.
Pertama aku menghampiri Eropa, lalu berkeliling Afrika. Dilanjutkan menyambangi Asia, Australia, serta kepulauan-kepulauan kecil di sekitar Samudera Pasifik. Dan perjalananku diakhiri di kawan Bumi bernama Amerika.
Aku benar-benar menyaksikan kebahagiaan di Bumi. Manusia-manusia Bumi tersenyum dan saling berbagi tawa dalam momen apapun. Saat beraktifitas mereka penuh dengan bahagia. Bahkan tidur pun tetap terselip simpul senyum di bibirnya. Dalam setiap jejak langkah perasaan itu tetap ada.
Aku memang lah sesosok yang asing di planet biru. Tapi setelah merasakan atmosfer kehidupan disana, aku merasa bukanlah sosok yang terasing. Bumi memang penuh kebahagiaan, tapi tak sedikit pula kesedihan. Bumi benar banyak tawa tapi tak jarang tawa itu hanyalah untuk menutupi air mata rasa terpuruk. Di beberapa bagian Bumi malah terdapat kekacauan; seperti perang, penyiksaan, hingga hal-hal sejenisnya yang mengakibatkan pertumpahan darah dan penderitaan, Di titik inilah aku merasakan memiliki kehidupan di planet asing ini.
Di perjalananku selanjutnya di Bumi, aku beranikan diriku untuk mendaratkan UFOku di Bumi. Aku mendaratkan kendaraan ajaibku itu di sebuah padang ilalang yang sangat tinggi, yang juga dikelilingi bukit-bukit kecil penuh rerumputan hijau. Kala itu malam hari, malam yang sangat cerah dengan gemerlap bintang-bintang. Bahkan cerahnya langit malam itu membuatku bisa menyaksikan gugusan-gugusan bintang yang menujukkan jalan menuju galaksi tempat planetku berada.
Manusia pertama yang aku lihat secara langsung ialah seorang perempuan. Jenis manusia ini berbeda denganku, karena bagi manusia Bumi aku disebut Laki-laki. Perempuan itu memiliki rambut sebahu yang terlihat pada malam itu tidak tersentuh dengan sisir. Mata yang sembab dan penuh rasa sedih. Dia duduk di salah satu bukit rerumputan tak jauh dari tempatku mendaratkan UFOku. Dia meringkukkan tubuhnya, dengan dagu disandarkan di kedua lutut dan tangan merangkul erat bagian kaki yang di tekuk. Aku tak bisa memutuskan berapa usia perempuan itu karena aku tidak tahu perhitungan waktu di Bumi.
Dia tidak sedikitpun menyadari kehadiranku di sekitarnya. Ketika aku semakin mendekat, dia pun tak mengindahkanku. Hingga aku beranikan diri untuk menyentuh bahunya dan sekedar menyunggingkan sepasang bibirku untuk menyajikan senyuman untuknya. Senyuman itu ialah yang pertama aku lakukan di sepanjang hidupku. Aku merasakan dan sangat bisa memastikan tulang rahang di sekitar pipi dan daguku berbunyi, seakan melepas kekakuan di bagian tubuh itu yang berlum pernah sekalipun aku fungsikan sebagaimana mestinya. Meski senyum itu terasa sangat aneh, akan tetapi tanpa aku sangka dia membalasnya dengan cara yang lebih ramah dan alami. Kehangatan senyumannya hadir meski pedih itu belum hilang dari raut wajahnya.
Selanjutnya setelah berbagi senyum, dia memintaku untuk duduk di sampingnya, diatas rumput yang telah dia alaskan dengan selembar kain tikar kecil. Aku dan dia duduk berdua menatap kejauhan dan dipayungi bintang malam. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku tanpa sungkan. Kami masih tak berkata-kata. Selang beberapa saat, aku merasakan hangat air matanya, yang mengalir dari dua kelopak mata sendunya lalu menyebrangi pipinya yang putih, dan air mata itu bermuara di pundakku. Dia tetap begitu tanpa mengeluarkan kata-kata asing bagiku. Hanya sesengukan yang keluar dari suaranya dan mewakili apa yang dia rasakan saat itu.
Air mata itu sudah mongering di saat sinar rembulan semakin terang menyala. Dia kembali duduk tegak di sampingku, memperbaiki rambutnya yang sempat berantakan saat tadi dia bersandar di tubuhku. Dia menyapu air mata yang masih tersisa di pipinya dengan jari-jari lentiknya. Aku biarkan dia mencurahkan semua beban yang melanda hatinya saat itu. Dia mengisahkan kehidupan keluarganya. Perpisahan Papa dan Mamanya, dan Kakak yang menelantarkan hidupnya hingga dia harus menghabiskan hari-hari kehidupannya di panti asuhan sejak masih balita. Teman-teman yang mengucilkannya karena keadaan keluarganya itu. Di tambah lagi di saat dia telah beranjak dewasa dan berusaha menafkahi dirinya sendiri, dia tetap diasingkan dari lingkungan sekitarnya, dunia tempat dia mencari jalan untuk menyambung hidup dan mencari sesuap nasi. Setahun yang lalu hadir seorang pria dalam hari-harinya, namun tak lama setelah pria itu mendatangkan warna lain dalam hidupnya, rasa sakit hati berganti menghantamnya dan membuat dia semakin jatuh dan terus terjatuh.
Dengan kondisi itu membuat dia sudah berulang kali memikirkan untuk mengakhiri hidupnya dan meninggalkan semua kemuraman dengan bunuh diri. Namun, niatan itu selalu mengapung di udara tatkala dia datang ke bukit ini, duduk meratapi kepedihannya dan menceritakan semua keluh kesah kepada bintang-bintang dan bulan. Di bukit ini lah menjadi tempat terdamai bagi hidupnya dan hanya bintang-bintang dan bulan lah yang bersedia mendengarkan dan menyambutnya dengan kehangatan.
Beberapa saat setelah tujuh kali matahari dan bulan bergantian hadir di langit bumi, kami semakin dekat dan aku menjadi tempat dia mengeluarkan keluh kesahnya. Keluh kesah itu bukanlah hal asing bagi hidupku. Aku sangat senang bisa menjadi sosok yang dianggap baginya.
Saat aku berencana kembali pulang aku sempatkan diri menemuinya untuk membantu dia, mengumpulkan kembali kebahagiaannya dengan menyatukan orang-orang yang telah berperan besar membuatnya merasakan apa yang dia rasakan saat ini. Setelah berbincang cukup lama dengannya hingga fajar hendak menjelang, terpikirkan olehku sebuah ide konyol yang tak tahu sejak kapan tersimpan di dalam kepalaku; aku memintanya pada akhir malam itu menungguku di bukit dan menyiapkan sebuah alat perekam, dan dia membawa sebuah handycam. Tanpa sepengetahuan dia, aku menerbangkan UFOku untuk kembali ke planetku. Dengan refleksnya dia langsung merekam proses penerbangan UFOku itu. Aku juga meninggalkan jejak circle crop untuk menguatkan bukti kehadiran UFOku di dalam rekaman videonya.
Tidak sampai menunggu pagi, dia telah menyebarkan video itu via internet. Dan langsung saja dia dan videonya menjadi headline di media cetak, elektronik, dan internet seantero muka Bumi. Dan tanpa harus menunggu matahari terbenam untuk membuatnya terkenal, tanpa disadari sebelumnya video itu berhasil membuatnya kembali bertemu dan berkumpul dengan kedua orang tua dan kakaknya, yang sebenarnya telah lama mencarinya dan telah sangat menyesal meninggalkannya di saat dia masih belia dulu. Sejak kejadian itu pula dia mulai fokus untuk mendalami ilmu astronomi. Kini tangisan dan kepedihan itu telah terbuang jauh, dan berganti kebahagiaan yang menjadi teman dalam hari-harinya.
Sedangkan aku tetaplah sesosok alien dari planet di luar Bumi. Aku siap datang kembali ke Bumi bersama UFOku untuk menemani hari-hari kelabu dan akan berusaha menghadirkan kembali senyuman-senyuman dan kebahagiaan yang menjadi kodrat manusia Bumi. Dan aku hanya akan menyaksikan tawa bahagia itu dari bintang-bintang yang bertaburan di langit. Karena inilah aku yang hadir untuk kepedihan.
END
Komentar
Posting Komentar