Budaya Pop, Bentuk Penjajahan Millenium


Memasuki dekade pertama abad dua puluh satu, dunia seakan menjadi sebuah mangkok penadah dari derasnya aliran budaya pop yang hadir melampaui ruang dan waktu. Disadari atau tidak, jenis budaya inilah yang telah menjejali dan mempengaruhi kehidupan kita, meski sebagian masih bisa mempertahankan budaya asal. Derasnya arus ideologi budaya pop yang penuh dengan nilai-nilai kenikmatan sesaat dan hedonisme menghipnotis sendi-sendi kehidupan, menjadikannya salah satu agen ‘penjajahan’ jenis baru dunia barat pada era millennium ketiga.

Budaya pop (singkatan dari budaya populer) disebut juga budaya massa karena kontennya diproduksi secara massif untuk tujuan komersialisasi. Ciri-ciri budaya pop antara lain: sangat dipengaruhi oleh media dan pasar, kontennya bersifat universal namun cepat punah dan tergantikan, dan orientasi produksi secara massal. Menurut McQual (1996:38) wujud budaya pop beraneka macam, misalnya: bahasa, tekhnologi, busana, musik, dan tata cara / perilaku. Serta, objek sasaran budaya ini adalah para pemuda.

Untuk melihat secara lebih nyata bagaimana sebenarnya perkembangan budaya pop ini bisa berkembang jauh seperti hari ini, kita harus kembali ke tahun 1920-an ketika Amerika Serikat memulai proyek Hollywood, dengan melakukan sentralisasi produksi film di kota Los Angeles. Dalam waktu singkat Hollywood mampu menyebarkan “Amerikanisasi” di belahan dunia lain dengan ditandai booming-nya gaya hidup orang-orang Amerika bersama melejitnya penjualan Levi’s dan Jeep. Sempat diselingi perang dunia dan adu ideologi antara blok barat dan timur dalam perang dingin, budaya pop mencapai puncak perkembangannya di dekade 1970-an saat lahirnya kaum hippies, yaitu kaum muda yang menuntut adanya kebebasan berpendapat dan berkarya, yang diinspirasi dari lagu-lagu dan gaya hidup The Beatles. Lalu akhir era 90-an dan memasuki 2000-an, giliran tekhnologi yang berkembang dengan sangat pesat yang ditandai dengan kehadiran mobile phone dan social-media. Di setiap hadirnya jenis budaya pop terbaru tidak akan pernah lepas dari pengaruh kuat media, baik cetak maupun elektronik. Kedua media itulah yang berperan besar membawa eksistensi budaya pop hingga ke dunia ketiga, seperti Indonesia. Satu media yang juga tak bisa dipungkiri menjadi agen penyebar budaya pop ini ialah Music Television (MTV). Jaringan stasiun televisi berbayar yang memiliki konten utama mengenai musik dan gaya hidup ini telah sangat signifikan mempengaruhi anak-anak muda di seantero bumi sejak kehadirannya pada 1981.

Di Indonesia eksistensi budaya pop melejit di era 80-an saat novel Lupus karya Hilman Hariwijaya dan film Catatan Si Boy menjadi buah bibir di kalangan anak muda masa itu. Akan tetapi, bila kita mau merunut ke era Orde Lama yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan anti kebarat-baratan, sesungguhnya budaya pop yang berupa musik telah muncul, salah satu contohnya adalah Koes Bersaudara. Namun karena dinilai lagu dan musik mereka sangat kental unsur kebarat-baratan, sehingga pemerintah mencekal album dan lagu-lagu mereka. Selain itu, seluruh personil Koes Bersaudara harus rela mendekam di penjara sampai rezim pemerintahan berganti. Hal ini terjadi karena Presiden Soekarno menganggap westernisasi merupakan imperialisme jenis baru yang dapat merusak identitas bangsa, yang baru saja beliau bentuk saat itu.

Apabila kita hidup di era ketika Bung Karno masih berkuasa, mungkin alasan beliau di atas tidaklah masuk akal atau bahkan bisa dikatakan terlalu lebay. Tetapi, bila kita melihat apa yang terjadi pada para pemuda bangsa dewasa ini, tuduhan imperialisme pada masa itu sangatlah beralasan dan dapat dibuktikan.

Coba kita lihat semenjak keran westernisasi dibuka oleh Orde Baru, lalu semakin luas terbuka di era Reformasi produk budaya pop asing seakan terlalu digdaya di negeri ini, kehadiran produk lokal hanya mampu menjadi pelengkap. Meskipun pemerintah pusat telah mencanangkan program “100% Indonesia” untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, tapi hingga saat ini program itu hanya bersifat temporer belaka. Bagaimana tidak? Produk dalam negeri tersebut sebagian besar merupakan imitasi dari produk yang sama dari luar negeri. Sehingga tak heran, meski sempat merebut hati tapi tak lama tergantikan dengan hal yang baru.

Kaum muda yang berada dalam rentang 15-35 tahun adalah target penyebaran imperialisme terselubung dunia Barat ini. Berdasarkan data BPS pada tahun 2006, negeri ini memiliki kurang lebih 80 juta pemuda atau 30% dari total keseluruhan penduduk. Sebagian besar dari total itu telah terhipnotis oleh unsur-unsur budaya pop, yang ditandai dengan menganggap apa yang digunakan orang banyak adalah sesuatu yang up-to-date, menyesuaikan diri dengan kebiasaan mayoritas orang, dan mendewakan penampilan trendi agar tak terlihat kuno.

Layaknya imperialisme di jaman perang dunia yang berkiblat pada Amerika Serikat dan Eropa (terutama Inggris), imperialisme budaya juga masih berakar di dua negara pop tersebut. Kita bisa menyaksikan apa yang sedang nge-trend disana, melalui bantuan media dan tekhnologi, dengan cepat menyebar dan mempengaruhi perilaku dan pola pikir generasi masa depan negeri ini. Mereka menganggap American dan British bisa membuat mereka terlihat lebih keren dan hebat. Penjajahan jenis ini memang tidak menyerang kita secara fisik, bahkan membuat kita merasa nyaman hidup di dunia dengan segala konten tipu dayanya. Lihatlah betapa suksesnya rating sinetron yang dipenuhi konten hedonisme. Begitu pula ajang pencarian bakat yang sukses menyedot perhatian ribuan anak muda untuk ikut serta, dan jutaan lainnya setia menjadi penonton. Mereka dipenuhi histeria dan dimabukkan oleh hiburan budaya pop, bahkan mereka tidak ragu untuk melakukan aksi protes bila kebebasan untuk menikmati itu semua dilarang atau dibatasi. Tapi coba kita bandingkan dengan pemecahan Guinness Book of Record memainkan angklung terbanyak di dunia yang dilaksanakan Juni 2011 lalu di Washington DC. Meski angklung-angklung yang digunakan diimpor langsung dari Indonesia dan juga dipandu oleh seniman angklung Tanah Air, namun ribuan orang yang memainkan alat musik tradisional Jawa Barat, yang sempat diklaim juga oleh Malaysia beberapa waktu lalu itu, didominasi oleh warga negara Amerika Serikat. Alih-alih untuk mempopulerkan budaya nasional di dunia barat, hal ini telah menunjukkan betapa kurangnya perhatian kita terhadap budaya sendiri yang seharusnya patut kita jaga dan lestarikan. Selain itu jangan lupakan pula fakta yang menunjukkan bahwa Museum Leiden di Belanda memiliki 30.000 pembendaharan manuskrip kuno yang mengisahkan agungnya Nusantara sejak masa kerajaan Hindu-Buddha. Bandingkan dengan 10.300 manuskrip yang tersebar dan tersimpan di Indonesia.

Melihat fakta di atas, kita bisa menyadari kemunduran generasi penerus bangsa ini yang disebabkan oleh arus budaya pop yang disebarkan Barat. Ditambah lagi modernisasi tekhnologi yang seolah tanpa batas terus menggerogoti nilai-nilai jati diri bangsa yang majemuk, dan berusaha menggiring para penikmatnya untuk mengikuti bagaimana fungsi tekhnologi yang serba instan, serta meniru apa yang tekhnologi itu sampaikan. Kenikmatan yang serba instan ini yang membentuk mental ‘instan’ atau ‘cepat saji’ generasi bangsa. Mereka lebih condong terhadap usaha-usaha yang cepat dan praktis untuk mencapai tujuan mereka, tanpa menginginkan usaha yang panjang dan penuh derai-derai perjuangan. Hal ini sangatlah berbeda dengan perjuangan para pemuda bangsa saat bersatu dan merumuskan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang tanpa ragu mengorbankan jiwa dan raga, meskipun mereka harus berjuang hampir 20 tahun untuk mencapai cita-cita bangsa yang merdeka dari tangan kolonialisme.

Walaupun budaya pop telah jauh memasuki kehidupan kita, tapi kita tidaklah perlu berpikir terlalu naïf untuk membatasi atau bahkan melarang kehadiran konten-konten budaya pop Barat seperti halnya pemerintah Orde Lama. Janganlah kita berkoar-koar untuk merubah orang lain, bila kita tidak memulai dari diri sendiri. Bukankah sejak duduk Sekolah Dasar kita telah diajarkan pendidikan Kewarganegaraan yang selalu menekankan untuk melakukan filterisasi terhadap budaya asing? Jadi, alangkah bijaksananya bila kita lakukan mulai detik ini filterisasi budaya terutama terhadap diri sendiri, agar amanat mulia para Bapak Bangsa untuk menjaga kemerdekaan dan identitas bangsa bisa kita teruskan dan lestarikan kelak. 

Komentar

Postingan Populer