Memudarnya Pamor Serie A Italia


id.wikipedia.com

Pamor Serie A Italia sebagai salah satu liga sepakbola terpopuler dan terbaik di kolong langit memang tidak diragukan lagi. Dekade 80-an hingga 90-an merupakan puncak kejayaan Serie A. Pemain-pemain nomor wahid  sekaligus peraih gelar Ballon d’or, macam Michel Platini, Trio Belanda (Ruud Gullit-Marco Van Basten-Frank Rijkaard), Lothar Matthaus, Ronaldo, hingga Zinedine Zidane mencapai puncak karirnya di Negeri Pizza. Penampilan para pemain yang yahud nan memukau seantero dunia, sejalan pula dengan prestasi tim-tim Serie A di kompetisi antar-klub Eropa.  Disaat Inggris masih berkutat dengan masalah holligans dan berusaha membenahi manajeman liga, serta Spanyol dan Jerman masih mencari jati diri sepakbola mereka melalui Liga Utama yang kompetitif dan atraktif. Tim-tim Italia, seperti Juventus, AC Milan, Internazionale, Napoli, dan Sampdoria, telah merasakan menjadi jawara di Eropa pada era tersebut.

Seperti halnya kehidupan, tidak selamanya apa yang ada di puncak bisa terus bertahan, itu juga yang dialami oleh perjalanan liga sepakbola Negeri Menara Pisa. Memasuki millennium baru kualitas Serie A Italia menurun secara bertahap. Berbagai masalah seakan hadir silih berganti. Regenerasi pemain yang melambat, masalah finansial, serta munculnya skandal-skandal yang diperankan oleh aktor-aktor dari dunia lapangan hijau, makin membuat sepakbola Italia tenggelam dan perlahan berada di bawah bayang-bayang Liga Premier Inggris, La Liga Spanyol, dan Bundesliga Jerman.

Regenerasi pemain menjadi salah satu permasalahan yang hadir di Italia saat ini. Memang semua tim Italia tetap memprioritaskan pengembangan pemain muda, namun permasalahan utamanya ialah para pemain muda itu belum bisa mencapai level yang setara atau bahkan mendekati para pemain berkualitas yang mulai dimakan usia. Sesungguhnya regenerasi di sepak bola Italia tidaklah terhenti karena pemain-pemain muda masih dapat disaksikan aksinya di Serie A. Meski tim-tim medioker atau papan bawah lebih memberikan kesempatan dibandingkan tim-tim besar. Namun hal ini tentulah sebuah penurunan apabila kita melihat 10-20 tahun yang lalu. Sebagai contoh, Italia sangat terkenal sebagai pencetak penjaga gawang nomor wahid dunia, sebut saja Dino Zoff dan Gigi Buffon. Akan tetapi saat ini regenarasi di posisi kiper seakan mengalami stagnanisasi. Sejak Piala Dunia 2002, Gigi Buffon selalu menjadi penjaga gawang nomor satu Gli Azzurri tanpa ada satu pun yang mampu menandingi kualitas ataupun mengancam posisinya tersebut. Padahal sejak medio 90-an, regenerasi kiper Italia berjalan sangat mulus dimulai dengan era Gianluca Pagliuca, Angelo Peruzzi, Francesco Toldo, dan yang terakhir Gianluigi Buffon. Regenerasi yang kurang mulus juga berimbas kepada uzurnya usia rata-rata pemain tim nasional Italia, yang pada Piala Eropa 2012 memiliki rata-rata usia 27,91 tahun dan berada di urutan 13 dari 16 kontestan.

Disamping regenerasi pemain yang mandet, sepakbola Italia juga mengalami masalah keuangan yang sangat akut. Beberapa tim sejak awal 2000-an telah didiagnosa memilih hutang yang cukup besar yang disebabkan oleh aktifitas transfer dan pembiayaan hak-hak pemain, bahkan klub seperti AC Parma, SS Lazio, dan AS Roma harus berganti kepemilikan untuk menyelamatkan kelangsungan hidup klub atau ada Fiorentina yang lebih nahas sempat bangkrut dan turun ke level amatir sebelum kembali lagi ke kasta utama Serie A. Keadaan ini diperparah lagi semenjak Italia menjadi satu dari sekian negara anggota Uni Eropa yang terkena dampak resesi ekonomi dunia. Alhasil klub-klub Italia harus merelakan kepergian bintang-bintangnya ke klub luar Italia yang berani merogoh kocek puluhan juta Euro, alih-alih untuk menyelamatkan keuangan klub tersebut. Di pra-musim 2012/13 sudah ada nama Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovich yang eksodus ke klub kaya baru Paris Saint Germain, tetapi kemungkinan duo Milan bukanlah pemain terakhir yang bakal hijrah dari Serie A di musim ini, karena masih ada nama Wesley Sneijder, Douglas Maicon, dan Julio Cesar yang diisukan akan hijrah ke luar Italia. Bahkan bermain di klub Italia sendiri sudah tidak menjadi prioritas utama pemain muda mereka yang ingin menambah pengalaman bertanding dan pundi-pundi uang, sebagai contoh Mario Balotelli dan Marco Veratti. Kondisi ini sangatlah berbanding terbalik bila melihat aktifitas transfer klub-klub Italia pada 10 tahun lalu, yang lebih royal menggelontorkan jutaan Euro untuk memperkuat skuad, sehingga memasukkan nama Hernan Crespo, Gigi Buffon, dan Christian Vieri ke dalam daftar 10 pemain termahal di dunia.

Dan masalah terbesar dalam tubuh sepakbola Italia saat ini ialah munculnya skandal. Dimulai pada 2006 ketika menyebarnya skandal Calciopoli, yang menyeret nama Luciano Moggi sebagai ‘the wrongest one’. Mantan master transfer Juventus ini bahkan dihukum tidak boleh aktif lagi di dunia sepakbola Negeri Spaghetti seumur hidup dan ditambah hukuman penjara selama lima tahun empat bulan. Selain Moggi; Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina menjadi klub yang terkena imbas skandal ini, dengan Juventus sebagai penerima hukuman paling berat; dua scudetti dicabut dan turun kasta ke Serie B. Belum hilang benar aib Calciopoli enam tahun lalu, tahun ini muncul lagi skandal terbaru, Scomessopoli. Skandal terbaru ini bahkan telah menyeret nama kapten Lazio Stefano Mauri, mantan kapten Atalanta Cristiano Doni, dan legenda Italia Giuseppe Signori sebagai tersangka.

Skandal demi skandal yang datang seakan menutupi realita buruk lainnya bahwa jatah Liga Champions Serie A telah direbut Bundesliga Jerman, sehingga mulai musim 2012/13 Serie A hanya bisa diwakili tiga tim saja. Kenyataan ini hadir akibat menurunnya prestasi klub Italia di kompetisi Eropa. Skandal-skandal ini juga menurunkan minat penggila bola di Italia dan juga Dunia terhadap Serie A. Contoh nyata ialah makin kosongnya bangku penonton di stadion pada setiap pertandingan Serie A, tercatat di musim 2011/12 hanya AC Milan, Internazionale, dan Juventus yang mencatat rata-rata di atas 35 ribu penonton di setiap laga kandang yang mereka lakoni. Selain itu, meski Dunia tengah dilanda krisis ekonomi, namun tim-tim Eropa lainnya tetap mampu jor-joran di mercato. Hal ini tak lepas dari hadirnya investor-investor baru yang mau membenahi skuad klub hingga membentuk ‘dream team’ dengan kekayaan mereka. Meskipun masih menjadi kompetisi yang sangat kompetitif di Eropa dan Dunia, skandal yang silih berganti hadir di dalam tubuh persepakbolaan Italia membuat Serie A tidak menjadi destinasi para saudagar asal Timur Tengah atau para penguasa minyak Rusia untuk bermain-main dengan uang yang mereka miliki seperti di Inggris, Spanyol, ataupun Prancis. Oleh karena itu, hingga detik ini  sebagian besar klub di Italia masih dimiliki oleh dinasti keluarga, yang berlatar belakang sebagai pengusaha dan telah menguasai klub secara turun-temurun.

Koefisien Liga Champions yang menurun, bangku stadion yang kosong, dan seretnya pemain bintang yang tertarik main di Italia semakin membuat Serie A meninggalkan masa kejayaannya. Serie A masih memiliki kompetisi yang penuh persaingan ketat di tujuh peringkat teratas, namun kekompetitifan itu seakan memudar ketika klub-klub hadir di pertandingan antar-negara Eropa. Prestasi timnas Gli Azzurri yang cukup membanggakan menjadi nilai positif disaat kompetisi mereka tengah mencapai titik nadir terendah dalam 20 tahun terakhir. Memang saran Perdana Menteri Italia, Mario Monti, untuk menghentikan sementara kompetisi pasca kehadiran skandal Scomessopoli bukanlah suatu masukan yang patut dipertimbangkan. Akan tetapi, sudah sepatutnya FIGC dan Lega Calcio, selaku otoritas penyelenggara Serie A, mulai memikirkan solusi bagaimana menghilangkan intrik dan kepicikan segelintir pihak di sepakbola Negeri Pizza. Bukankah Italia juga sudah pernah bangkit setelah diterpa badai skandal Totonero di tahun 1980?

Dengan modal basis tifosi yang kuat di seluruh dunia, bahkan beberapa tahun silam Juventus sempat menjadi tim nomor dua—setelah Manchester United—yang memiliki tifosi terbanyak di muka bumi. Dan jangan dilupakan pula bahwa di Italia, calcio (sepakbola) hampir setara kedudukannya dengan agama. Inilah saat yang tepat bagi Serie A untuk membentuk kembali fondasi kejayaan mereka, agar tak semakin ketinggalan dengan gemerlap Liga Premier Inggris, rivalitas El Clasico di La Liga Spanyol, dan sepakbola menyerang yang penuh kejutan ala Bundesliga Jerman.

Salam Serie A. Ciao!

Komentar

Postingan Populer