Islam Itu Cinta Damai


Di malam ketika semua umat muslim tengah menggemakan takbir menyambut Idul Adha, masih saja ada sekelompok yang mengatasnamakan diri mereka “Islam” yang menganggu ketenangan manusia lain. Apa yang terjadi di negeri ini adalah bagian kecil dari konflik yang membawa Islam sebagai tameng atau dasar perjuangan. Serangan bom bunuh diri, terorisme, dan pengerusakan rumah ibadah agama lain adalah beberapa aksi “membela” panji Islam. Pernahkah tersadar bagaimana Rasulullah berhasil menguasai kota Yastrib (Madinah) tanpa perlu mengusik penganut agama lain yang sudah menetap di sana? Atau adakah yang memahami bagaimana Islam berhasil menyebar luas di bumi Nusantara? Semua itu hadir melalui jalan perdamaian, tanpa perlu melakukan gencatan senjata apalagi mengusik hidup orang lain.

Sebagai seorang Muslim di negeri dengan penganut Islam terbesar di dunia, saya memandang nilai-nilai Islam sebagai hal yang biasa dan tak ada yang istimewa hingga saya mendapatkan kesempatan hidup di negara minoritas Muslim, Amerika Serikat (AS) tepatnya di kota Fort Collins, negara bgaian Colorado. Disana saya merasakan esensi seorang Muslim seutuhnya.

Berpuasa Ramadhan dan Idul Fitri di Amerika Serikat adalah pengalaman perdana saya merayakan dua momen spesial umat muslim itu di luar negeri. Awalnya pasti terbersit rasa khawatir karena yang saya tahu, melalui media, Amerika bersama negara-negara barat lainnya tengah dilanda islamophobia. Namun, yang saya alami adalah sebaliknya. Masyarakat di AS lebih toleransi dan memahami umat beragama, bahkan mereka penasaran dengan apa yang dilakukan umat Islam, terutama kenapa muslim harus puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan dan shalat lima waktu sehari? Mengapa kita menghindari daging babi demi makanan berlabel HALAL? Dan, kenapa sebagian besar wanita muslim menggunakan hijab / kerudung?

Tiga pertanyaan fundamental itu, jujur tak pernah terlintas di pikiran saya, yang saya tahu selama ini kita lakukan itu semua karena tuntunan dan syariat agama. Tanpa pernah saya memikirkan jawaban logis bila ada orang yang bertanya tentang hal itu. Di Amerika lah, saya belajar banyak untuk memberikan argument yang berkaitan dengan syariat saya sebagai seorang Muslim. Shalat dan puasa bukan lagi sekedar kewajiban karena terkandung dalam rukun Islam, babi tidak bisa dikomsumsi karena HARAM, atau wanita Muslim memakai penutup kepala karena itu bagian auratnya. Semua jawaban to the point itu tidaklah masuk akal bagi logika orang-orang barat yang berpikir menggunakan rasio. Jawaban yang paling sering saya utarakan adalah yang berkaitan dengan pemakaian hijab / kerudung bagi wanita muslim. Saya selalu mengatakan bahwa di Indonesia pemakaian kerudung tidak lah sepenuhnya diwajibkan, tapi wanita / teman-teman perempuan saya yang berasal dari Indonesia memutuskan memakai kerudung untuk menutupi “perhiasan” mereka yang ada di atas kepala, sekaligus menjadi fashion style. Itulah jawaban singkat yang paling sering saya berikan kepada teman-teman di AS baik itu laki-laki ataupun perempuan, terkadang ada juga yang memberikan pertanyaan balik yang lebih detil, Alhamdulillah ketika saya menjelaskan lebih lanjut mereka dapat menerimanya. Hasilnya tak sedikit pula yang memberikan opini kalau kaum hawa Indonesia yang menggunakan hijab / kerudung terlihat cool dan cantik. Itulah pengakuan mereka.

Sebagai kaum minoritas di negara yang sebagian warganya tidak percaya akan adanya Tuhan, kehadiran sesama Muslim dari berbagai bangsa yang berbeda sungguh sebuah anugerah. Dalam keadaan ini saya merasakan ikatan persaudaraan yang sangat kuat dengan sesama Muslim yang berasal dari berbagai belahan bumi bukan hanya AS. Meski kami baru pertama kali bertemu, mereka tak segan untuk menawarkan pertolongan. Sebagai contoh ketika ingin melaksanakan Shalat Idul Fitri, kami mahasiswa Indonesia terkendala dengan kendaraan sekaligus ketidaktahuan kami atas tempat berlangsungnya shalat. Dengan sukarela salah satu Imam Islamic Center di sana rela menjemput dan mengantarkan kami untuk melaksanakan shalat Id bersama.

Kondisi sebagai minoritas juga membuat umat Islam di sana lebih mandiri. Misalnya untuk membangun sebuah masjid baru mereka membutuhkan waktu dua tahun untuk sekedar membangun kerangka masjid menggunakan tiang penyangga. Selain itu, untuk mendapatkan dana demi menyambung dakwah Islam, disamping sumbangan, amal, dan zakat jamaah, mereka menjual makanan halal, terutama masakan Arab, setiap ba’da Shalat Jumat. Untuk harga, mereka tidak mematok harga pasti cuma dianjurkan minimal membayar $5 untuk satu kotak nasi dan daging kebab lengkap plus minuman. Semangat seperti ini yang sudah mulai memudar di negara-negara mayoritas Muslim.

Dewasa ini, negara dengan mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, mulai terjangkit masalah kekerasan antar kelompok agama, yang merugikan banyak pihak dan sektor kehidupan. Kita sudah mulai lupa bahwa hadirnya agama untuk menenangkan kehidupan dengan pegangan yang tersirat dalam setiap ajaran-ajarannya, bukan sebagai pondasi untuk menghakimi secara sepihak agama lain. Apalagi menggunakan panji-panji Islam, seperti “Allahuakbar” untuk menyemangati diri alih-alih membela Islam namun menyerang dan melukai manusia lainnya. Kita sudah terlampau jauh dalam memahami apa itu Islam. Islam yang cinta damai. Islam yang sepenuhnya menghindari kekerasan meski di posisi mendesak pun. Islam yang sangat menerima segala macam perbedaan kepercayaan.

Menilik jauh ke ratusan tahun lalu ketika Islam dan umat Muslim tengah mencapai puncak kejayaan di bumi. Dimulai dari era Rasulullah SAW yang memperkenalkan perundingan damai untuk menyelesaikan konflik dengan kaum Quraisy di Mekkah dan mencetuskan pemerintahan demokrasi di Madinah, yang mengijinkan serta tidak mengusik sedikit pun kaum Yahudi dan Nasrani yang sudah ada di negeri itu sebelum Islam hadir di sana. Perjuangan serupa dilakukan juga oleh Dinasti Umayyah yang memberikan bumi Spanyol cahaya di tengah-tengah masa kegelapan di Eropa. Jalan perdamaian yang sama juga diadopsi oleh para pemuka agama Timur Tengah untuk meng-Islam-kan bumi Nusantara, yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha. Menarik mengutip pemikiran salah satu ulama besar islam Indonesia yang juga mantan Presiden keempat RI, Alm. Abdulrahman Wahid atau Gus Dur, beliau mengatakan bahwa Islam dalam perkembangannya mampu secara dinamis mengikuti budaya asli daerah yang didatanginya, bukan budaya itu yang meng-islam-kan diri. Hal itulah yang menyebabkan Islam bisa menyebar merata di Indonesia, yang multi-etnik.

Dalam mengalami perjalanan hidup selama dua bulan di Amerika Serikat, meski singkat tetapi mampu memberikan perspektif baru dalam kehidupan saya, terutama sisi religiusitas. Memang di AS kita tak bisa mendapat pelajaran agama seperti di Timur Tengah ataupun di Indonesia, namun di sana sangat ampuh untuk mempelajari kehidupan dan mengamalkan nilai-nilai Islam yang telah dipelajari di Tanah Air. Bagaimana kita menghargai orang lain, menawar senyum kepada orang lain walaupun belum saling kenal, dan menolong sesama tanpa pamrih. Nilai-nilai itu adalah nilai yang ditekankan Rasulullah SAW, namun seakan gagal diterapkan di Negara-Negara Islam dan berfungsi secara baik dan sempurna di Amerika Serikat, yang notabene masih memandang Islam secara negatif.

Semoga kita sebagai umat Islam tidak lagi memandang perjuangan semata dengan jihad atau berbicara secara lantang dan tak sepantasnya tentang keburukan umat lain. Karena Islam itu bukan untuk membedakan sebuah perbedaan, akan tetapi Islam itu mengagungkan nilai perbedaan demi menggiringnya kepada kehidupan yang penuh rasa keadilan dan persatuan. Amiiinnn...

Selamat hari raya Idul Adha 1433 H.


Komentar

Postingan Populer