CATATAN HATI: Surat Untuk Separuh Hatiku


Selamat malam, sayang. Masih kah dirimu bertarung dalam kerinduan disana? Aku pun disini masih tetap sama: menikmati rindu yang amat menjerat ini.

Aku menulis surat ini disaat aku mendengar satu lagu, yang pasti kamu tahu itu apa. Sebelumnya aku tidak pernah menyangka ataupun merasakan benar bahwa apa yang ada di lagu itu pernah aku rasakan di tengah singkatnya pertemuan kita. Hingga pada satu momen ketika aku menyanyikannya bersama di bawah satu titik bintang terang. Bintang yang aku ajak berdendang, layaknya itu dirimu. Aku melatunkan lagu itu bait per bait, dan disitulah aku mendapatkan apa yang sesungguhnya membawa aku hingga ada di titik ini.

“Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali / Kau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalani.”

Sejak kapan kamu merasa aku ada? Sungguh, mungkin aku yang merasa lebih dahulu dirimu itu ada. Aku tidak akan pernah mau menghindari perasaan itu. Saat aku menjejakkan kaki ke arah yang sama denganmu, aku merasakan kamu jauh lebih dari sekedar ada di sampingku. Kamu mungkin juga takkan pernah menyadari seberapa jauh aku mengetahui masa kelammu yang lalu. Saat cinta menipu hadirmu, dan membiarkanmu ternoda tanpa mampu membuka kembali hati yang terluka.

Mungkin kamu bertanya dari mana aku tahu itu. Temanmu? Sahabatmu? Bukan semua. Tapi aku mengetahuinya dari sepenggal ceritamu. Kamu pasti akan bertanya lagi, yang mana? Aku akan menjawab bukan yang manapun karena kamu tidak menceritakanku. Aku mendengar kisahmu itu di tengah tidurku, di tengah dua dunia yang berbeda, di tengah mata terpejam. Aku mendengar itu hingga tak ingin membuka mata seakan aku menyadari betapa terlukanya kamu saat itu. Saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang aku lakukan hanyalah memejamkan mata, dan meramu waktu untuk menyembuhkan luka dalam itu. “Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu / Aku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia.”

“Ku ada di sini, pahamilah kau tak pernah sendiri / Karena aku selalu di dekatmu saat engkau terjatuh.”

Sayang, aku selalu menyadari bahwa seberat dan sekeras apapun cinta yang aku miliki untukmu, itu bukanlah keinginan awalku ada untukmu. Sekedar dekat dan selalu ada untukmu ialah yang utama untukku. Aku ingin membuktikan pada semua, pada dunia yang terus berubah, bahwa masih ada hati yang akan mampu menjadi pelengkap sekaligus pelipur pedih yang pernah engkau alami. Awalnya aku merasa terlalu jauh untuk bisa seperti itu. Menjadi dekat denganmu, mungkin akan dianggap sama olehmu seperti yang lainnya. Aku pun tak pernah mempermasalahkan itu, cuma hati ini yang bergejolak. Jiwaku tak pernah menganggap aku pantas menjadi lebih. Percayalah. 

Dahulu memang telah banyak yang mengharapkan dirimu. Aku berbeda. Aku lebih suka ada di balik lukamu. Lalu, menghantarkan obat luka itu dalam goresan senyummu. Kamu pasti pernah mendengarnya. Saat itu kamu membalas aku dengan pelukan dan air mata. Aku masih mengingat jelas itu semua karena “Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu / Aku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia.”

Waktu terus berjalan. Mungkin saat itu lukamu telah tertutup kembali, namun hatimu telah terkunci lagi. Hingga saat itu aku pun masih berharap hadir sekedar untuk dirimu, bukan hatimu. Sangat menyenangkan membagi malam denganmu. Berbagi cerita. Sampai pertemuan di setiap pagi menjadi penyemangat hari. Kau masih sangat kaku. Itu yang aku rasa dahulu. Saat aku juga masih bertanya-tanya, apakah aku masih belum mengharapkan hatimu? Aku tidak. Lebih tepatnya belum, aku belum siap untuk membawa senyum itu sepenuhnya menjadi milikku. Menjadi pengawal langkahku. Menjadi penawar setiap penatku. Aku masih ragu apakah aku mampu memberikan kedamaian atau bahkan kepedihan. Layaknya yang sudah-sudah. Dulu, aku masih takut. Terlampau takut mungkin.

Kamu harus menyadari seberapa berharganya kamu untukku. Aku memang bukan yang terhebat, tapi aku berusaha terus menjadi yang terbaik bagimu, bagi hatimu. Aku akan berusaha sekuat apapun itu. Setegar rerumputan menahan angin kencang. Sekuat pepohonan menahan panas dan dinginnya udara. Untuk bisa menyajikan kebahagiaan untukmu, menguapkan segala dukamu.

Sampai saatnya tiba. Semua indah pada waktunya. Meski di tengah mepetnya waktu, jauhnya jarak yang membentang, dan kerasnya rindu yang akan dihadapi. Semua itu warna. Warna kisah kita.

“Dengar laraku, suara hati ini memanggil namamu / Karena separuh aku dirimu / Semua lukamu telah menjadi lirihku / Karena separuh aku dirimu//” Percayalah.

Merindumu...

Komentar

Postingan Populer