Ingatlah Bhineka Tunggal Ika Bag. 2


Tulisan ini merupakan bagian kedua dari artikel saya yang berjudul Ingatlah Bhineka Tunggal Ika!.

Sepakbola. Sepakbola. Sepakbola. Bukan sekedar olahraga 11 lawan 11 untuk merebut peluang menjaringkan bola ke gawang. Bukan pula olahraga membosankan yang hanya mampu menghasilkan skor kecil, kata sebagian besar orang Amerika. Lebih dari itu, bagi 250 juta bangsa Indonesia sepakbola adalah kebanggaan, kehidupan, dan harga diri bangsa.

Kebanggaan

Sejauh ini sepakbola Indonesia tetap gegap gempita di tengah keringnya prestasi sejak 1992. Terlihat membingungkan memang karena apa yang bisa kita banggakan kalau tidak ada prestasi? Tapi itulah sepakbola di mata mayoritas bangsa Indonesia. Bila tim nasional bermain, meski stadion tidak terisi, tapi pasti di tempat yang berbeda, di depan televisi mereka menyaksikan kiprah timnas, dan di media sosial pasti banyak orang yang bicarakan, sehingga tidak jarang menjadi trending topic.

Bila kita merunut ke level domestik, akan sangat mudah orang Indonesia dipecah menjadi bagian-bagian suporter sesuai dengan wilayah domisilinya. Rasa bangga kepada klub bahkan bisa dikatakan jauh lebih tinggi dibandingkan kepada tim nasional. Tak jarang rasa bangga yang kadung tinggi itu menghasilkan fanatisme yang berlebihan, yang mengarah kepada kekerasan dan kekacauan yang merugikan orang lain.

Tanpa mau menyebutkan nama suporter, tapi kalo ada duel antara dua tim besar dengan jumlah suporter besar, tak dielakkan lagi gesekan-gesekan yang dapat memicu kerusuhan mungkin terjadi. Sebagai contoh, saya yang besar, tumbuh, dan dewasa di kawasan Tangerang memilih mengikuti arus mayoritas menjadi seorang Viola atau lengkapnya Benteng Viola, sebutan untuk pendukung setia tim Persita Tangerang. Di awal medio 2000, kita sempat menjadi satu tim yang disegani di Liga Mandiri Indonesia. Sempat dua kali menjadi runner-up merupakan prestasi tertinggi Pendekar Cisadane di kancah tertinggi Liga Indonesia kala itu. Tangerang merupakan satu dari beberapa kota atau daerah di Indonesia yang memiliki derby lokal. Tetangga Persita, yang dimiliki pemerintah Kabupaten Tangerang, ialah Persikota, yang didirikan oleh pemerintah Kota Tangerang. Di setiap derby digelar Stadion Benteng Tangerang pasti terisi penuh oleh kedua suporter, Benteng Viola dan Benteng Mania. Jumlah Benteng Mania memang terlihat lebih sedikit, namun keadaan itu tak menyurutkan sedikitpun nyali mereka. Alhasil, sehabis laga 90 menit berlangsung, di jalanan sekitar stadion pasti akan berlangsung laga “tambahan” antara Viola dan Bet-Man. Laga kali ini tidak memperebutkan bola, melainkan duel langsung antara perorangan atau kelompok suporter dari kedua belah pihak untuk memperebutkan “kekuasaan” sebagai yang paling kuat di seantero Tangerang. Hasil dari setiap kerusuhan itu ialah kerugian materi warga sekitar, stigma buruk yang makin menjadi terhadap sepakbola Indonesia, yang diakibatkan oleh pemberitaan media, dan sumpah serapah dari masing-masing kelompok. Tanpa diragukan lagi, inilah bentuk kebanggan kami terhadap klub yang kami dukung.

Contoh di atas memang menjadi wajah sepakbola Indonesia bagi sebagian besar warga Indonesia yang tidak mengikuti perkembangan sepakbola nasional. Meskipun kita berbeda warna ketika membela klub kesayangan, saat membicarakan timnas, kita akan menjadi satu, satu warna; merah dan putih. Lagu yang dinyanyikan saat mendukung pun sudah menjadi “INDONESIA! INDONESIA!”. Untuk sesaat kebanggan atas klub ditanggalkan, dan digantikan oleh kebanggaan terhadap Tanah Air, burung Garuda di dada. Apapun hasil yang diperoleh tim nasional, kita tetap menantikan pertandingan timnas selanjutnya, dan tetap berharap suatu saat gelar juara mampir di pangkuan Ibu Pertiwi. Ya, begitulah cara Indonesia menunjukkan kebanggaannya kepada sepakbola.

Bagi saya kebanggaan dan fanatisme kuat yang ditunjukkan suporter-suporter di Indonesia terhadap klub lokal favorit mereka dan juga Tim Nasional Indonesia, jauh lebih agung dibandingkan kecintaan yang sangat sangat kuat seseorang terhadap klub-klub luar negeri.

Kehidupan

Selain kebanggaan, sepakbola juga merupakan bagian dari kehidupan jutaan rakyat Indonesia, mau itu di kota atau desa, tua ataupun muda.

Kini, semenjak gaya hidup urban menjadi fenomena baru di kota-kota besar dengan menjamurnya café dan warung kopi (warkop), yang menyediakan acara nonton bareng, sepakbola makin membumi. Mau apapun status sosial dan ekonomi seseorang kalau sudah membaur membicarakan sepakbola, terutama yang berkaitan dengan tim kesayangan, pasti akan menjadi satu rasa. Rasa kehidupan akan kecintaan kepada olahraga massal ini. Bersorak bersama saat menyaksikan gol, dan, sebaliknya, merasa terpukul ketika wasit meniup peluit akhir pertandingan dengan hasil tim kesayangan mengalami kekalahan.

Pembicaraan sepakbola pun tidak melulu mengenai pertandingan. Hal-hal non-teknis, seperti kebijakan transfer, penggunaan teknologi, dan kehidupan para pesepakbola pun tak pernah surut jadi pembicaraan hangat khalayak.

Faktor media pun menjadikan sepakbola semakin dalam menjadi bagian sendi kehidupn manusia. Pemberitaan media terhadap sebuah pertandingan, baik prediksi ataupun hasil, selalu menjadi tontonan wajib di akhir dan awal pekan. Tak jarang pula, apabila timnas Indonesia yang bertanding, semua media, cetak dan elektronik, berlomba-lomba menampilkan headline tentang pertandingan timnas itu. Meski tidak melulu mengenai ulasan yang positif, tapi itulah sepakbola; ada menang dan kalah, ada suka dan duka, ada elu-elukan dan juga hujatan.

Media sosial pun tak mau kalah. Di setiap matchday pertandingan pasti ada satu atau dua pertandingan, yang menjadi Indonesia Trending Topic di jagad Twitter. Biasanya yang menjadi trending ialah topic dukungan kepada tim, yang ditandai dengan hashtag (#), skor pertandingan, dan pencetak gol.

Kenyataan ini menjadi gambaran jelas bahwa di Indonesia, negeri gila bola tanpa gelar juara, sepakbola ialah bagian kehidupan. Ada ribuan pesepakbola yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya dari kemampuannya menendang bola. Ada anak usia belia, yang mulai bermimpi bisa seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, yang bisa terkenal dan kaya di dunia karena permainan apiknya di lapangan hijau. Dan jangan dilupakan juga ada jutaan orang yang bekerja untuk memproduksi, mendistribusi, dan memperjual-belikan perlengkapan sepakbola sebagai usahanya untuk mengebulkan dapur.

Harga Diri

Dari era pendudukan Hindia Belanda di Tanah Air, banyak anak bangsa mulai melakukan perjuangan melalui si kulit bundar. Sebagai contoh nyata ialah hadirnya tim nasional Hindia Belanda sebagai kontestan Asia pertama di Piala Dunia 1938. Meski saat itu hanya menjadi lumbung gol negara-negara lain.

Di daerah, lahir tim legendaris macam PSM Makassar, Persija Jakarta, dan Persebaya Surabaya di saat kemerdekaan belum diproklamirkan, terlebih lagi sebelum lahirnya Sumpah Pemuda di tahun 1928. Tiga tim di atas awalnya merupakan tim bentukan pemerintah kolonial Belanda, namun pemain-pemainya merupakan perpaduan antara warga pribumi dan meneer Belanda. Di sini lah dimulai penampakan harga diri daerah yang diwakili oleh karakter tim tersebut.

Sepakbola juga merupakan alat pemersatu dan revolusi bangsa. Ingat, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) berdiri pada 19 April 1930 atau lima belas tahun sebelum Bung Karno dan Bung Hatta resmi menjadi proklamator yang membacakan teks proklamasi. PSSI hadir atas prakarsa Soeratin Sosrodorgondo. Lulusan Universitas Harvard pada 1928 ini, menjadikan sepakbola sebagai identitas bangsa untuk melawan penjajahan. Namun, kini sepakbola malah dipecah belah oleh oknum-oknum yang mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa.

Bertahun-tahun bangsa kita memperlakukan sepakbola lebih dari sekedar olahraga. Rasa cinta tanah air pun pasti menggugah untuk diselami saat lagu Indonesia Raya berkumandang sebelum pertandingan dimulai. “Garuda di Dadaku” adalah frasa yang menandai bahwa sepakbola merupakan harga diri bangsa ini. Kita sadar berkali-kali kita “dihajar” oleh negara-negara kuat di olahraga ini, berkali-kali juga kita harus pulang dengan kepala tertunduk dari stadion saat melihat papan skor elektronik di Stadion Gelora Bung Karno memperlihatkan angka tim tamu lebih tinggi, berkali-kali juga harapan semu hadir saat timnas gagal menjuarai sebuah turnamen antar negara. Walaupun begitu, bait lagu “Garuda di dadaku / Garuda kebanggaanku / Ku yakin hari ini pasti MENANG! //” tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.

Semoga saja (semoga kali ini bukan harapan semu), semua orang-orang yang memegang kendali sepakbola di negeri ini bisa berkaca satu sama lain. Memahami kekhilafan mereka. Jangan melulu merasa paling benar dan terbaik. Sekali lagi, kita tidak butuh kebangaan semu atas kepentingan sekelompok orang. Yang kita inginkan ialah rasa persatuan dan kesatuan, seperti yang tertuang dalam sila ketiga Pancasila, untuk menghasilkan tim nasional Indonesia yang bersatu. Menghasilkan sepakbola yang senafas, tanpa ada arogansi sepihak.

 Ya, sepakbola bagi Indonesia ialah kebanggaan, kehidupan, dan harga diri bangsa. Tidak lebih dan tidak kurang! Kita merah dan putih. Merah berarti rasa keberanian untuk membela bangsa dalam satu kesatuan. Putih menandakan ketulusan hati untuk hidup bersama dalam perbedaan. 

Ayolah sepakbola Indonesia, Ingatlah Bhineka Tunggal Ika!

Komentar

Postingan Populer