Kisah Kasih Jogjakarta


Di langit mendung Jogja menjelang tengah hari pada hari Selasa, 12 Februari 2013 lalu, menjadi kali pertama gue menginjakkan kaki di Yogyakarta. Tidak lama setelah turun dari Kereta Api Sancaka (Surabaya-Jogja), hadirlah sesosok wanita penuh pesona dari kejauhan yang menggunakan kerudung bermotif biru mendekat. Hadirnya dia menjadi tanda dimulainya liburan menyenangkan gue selama di Daerah Istimewa Yogyakarta. It’s time for epic holiday!

Sesuai janji untuk menjemput di Stasiun Tugu, Laras dan gue akhirnya bertatap muka lagi setelah empat bulan dipisahkan jarak antara Makassar dan Jogja. Pertemuan ini seakan menjadi kisah tersendiri bagi kita. Tidak ada yang berubah kok dari dia, yang berubah mungkin berat badan gue yang udah menyusut semenjak jadi mahasiswa intel (indomie telor) lagi, he-he-he. Gue juga masih ingat cara dia berjalan.
Banyak hal menarik yang gue alami bersama Laras di Jogja. Mulai dari jalan-jalan ke berbagai macam tempat wisata, ketemu teman kuliahnya Laras, Valentine Day, sampe nonton bola bareng.

Museum Affandi ialah tempat pertama yang kita kunjungin bersama. Bagi Laras, ini juga kali pertamanya mengunjungi museum yang memamerkan karya-karya maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Museum, yang memiliki tiga gedung galeri ini, nggak cuma menampilkan karya-karya Affandi dan keluarganya, tapi juga menampilkan karya-karya pelukis yang dikenal dekat dengan beliau dan satu benda yang paling menarik bagi gue, yaitu mobil Affandi. Mobilnya itu hanyalah mobil sedan biasa, tapi yang unik itu ialah desain body-nya yang menyerupai ikan. Bener-bener berkelas emang Affandi! Affandi dalam menyuguhkan lukisannya menganut gaya ekspresionis, jadi tidak heran kalo banyak banget lukisan-lukisan wajahnya. Yang gue penasaran itu, gimana cara beliau melukis dirinya dengan berbagai macam ekspresi muka dan juga berbagai macam pose? Mungkin inilah yang dibilang narsis bermanfaat. Buktinya Affandi udah terkenal di seantero Eropa, Asia sampai Amerika Latin. Wow!
Mobilnya Sang Maestro.
Suasana salah satu galeri Museum Affandi.
Museum lain yang kita datangi ialah Museum Vredeburg. Museum yang terletak di jalan Malioboro dan tepat di depan Gedung Agung ini dulunya merupakan benteng kompeni, sekarang di eks benteng itu terdapat berbagai macam diorama peristiwa bersejarah perjuangan bangsa Indonesia di Jogja, mulai dari kelahiran Muhammadiyah hingga penunjukan Yogyakarta sebagai ibukota sementara Republik Indonesia.
Halaman muka Vredeburg.

Kedatangan gue ke Jogja di bulan penuh cinta, Februari, emang biar sekalian bertepatan dengan hari cinta Valentine’s Day. Bagi gue sebenarnya Hari Valentine itu bukan hari spesial, toh cinta kan harus selalu diungkapkan sepanjang hari dalam setahun. Nah, berhubung 14 Februari 2013 menjadi Valentine’s Day pertama yang gue habiskan bersama kekasih hati, jadi ada sisi historisnya juga buat kita. Really! Malam 14 Februari lalu kita habiskan dengan menyusuri jalan Malioboro yang baru saja diguyur hujan.

Beberapa hari kemudian, giliran Alun-alun Kidul yang menjadi saksi bisu tempat kita menikmati malam Minggu perdana di Indonesia. Kalo dulu di Amerika, malam minggu pernah kita habiskan dengan makan burger dan milkshake, sembari menikmati penampakan harvest moon. Already miss that moment. Dan malam Minggu di Jogja pun ternyata terasa sama. Sama-sama menyenangkan dan tak terlupakan. Selain dua malam itu, kami juga menikmati malam lainnya di Taman Lampion di Monumen Jogja Kembali (Monjali), melihat berbagai macam lampu-lampu yang memenuhi taman dan juga lampu-lampu yang menyerupai bentuk-bentuk tertentu.

Kraton. Ya, ini nih salah satu yang “katanya” wajib dikunjungi di Jogja. Kraton mengajak kita nggak sekedar mengetahui situasi di sekitar Istana Kesultanan Yogyakarta, tapi juga ampuh untuk menghapuskan ke-kepo-an kita atas segala sejarah, kostum, dan pernak-pernik yang menyangkut Kesultanan dan perkembangan kota Jogja mulai dari abad ke-17 hingga saat ini. Lanjut, dari Kraton gue dan Laras mendapatkan penyegaran lainnya di Taman Sari. Tempat ini dulunya merupakan taman atau kebun Kesultanan sekaligus benteng pertahanan terakhir, tapi sekarang yang identik dengan Taman Sari hanya Umbul Pasiraman, yang dulunya jadi tempat pemandian para istri Sultan dan putri-putrinya. Melihat kolam segede gitu, nggak kebayang aja ternyata dari jaman dahulu kala kolam renang udah jadi wahana hiburan keluarga di Indonesia. Salut! 
Kolam di Umbul Pasiraman.
Nggak cuma wisata sejarah, Jogja juga punya wisata alam, salah satunya Pantai. Yang paling terkenal pastinya Pantai Parangtritis a.k.a Pantai Paris. Dari sekian banyak pantai yang udah pernah gue kunjungi dari ujung paling barat Jawa dekat Selat Sunda, atau satu-satunya pantai di Jakarta, dan pantai-pantai di sekitaran Sulawesi Selatan. Pantai Paris punya ombak yang paling kencang, meski belom sekencang ombak-ombak untuk surfing yang ada di Bali atau Jawa Barat bagian selatan, namun udah bikin ngeri aja kalo liat peringatan “daerah berbahaya buat berenang” yang tertancap di sekitaran pesisir pantai. Yang terkenal dari Pantai Paris sih, naek dokar or delman untuk menjelajahi sepanjang garis pantai. Melihat dokar di Pantai Paris mengingatkan gue pada salah satu foto Ayah gue yang sedang berpose memakai kacamata di atas dokar, dengan pandangannya menghadap ke laut luas. Old-school sekali memang Si Boss, he-he-he.

Kurang afdol rasanya kalo wisata Pantai cuma di Jogja aja. Akhirnya untuk memenuhi hasrat “pantai” kami, gue dan Laras menuju Wonosari untuk melihat gugusan pantai lain. Dengan menempuh perjalanan 2 jam dari Kota Jogja, sampai lah kami di Pantai Baron. Pantai ini merupakan pantai nelayan karena di sana kita bisa temui bermacam-macam kapal nelayan. Pantai Baron juga dikelilingi oleh tebing-tebing, yang kalo diterpa ombak air laut akan menghasilkan suara yang mencetar sekaligus membahana. Dengan menaiki salah satu tebing, kami berdua bisa melihat suasana laut lepas dari ketinggian. Ini yang menjadi ciri khas Pantai Baron.  
Baron from above.
Kampung Nelayan at Pantai Baron
Selain Pantai Baron, kita juga mengunjungi Pantai Sepanjang. Pantai yang satu ini masih sepi dari pengunjung, jadi asik untuk berleha-leha sambil ngadem di tenda-tenda kayu yang bertebaran di sekitar bibir pantai dengan menikmati ombak yang berkejaran. Pantai Sepanjang memiliki pasir putih yang berbutiran sangat halus. Angin kencang dan ombak yang lumayan kencang, juga menjadi satu daya tarik dari pantai yang satu ini. Melihat panorama pantai yang indah, menjadi balasan yang jauh dari kata sepadan untuk sekedar perjalanan dua jam untuk mencapainya. 
Bagus mana? Latar atau objeknya? :D
Puas (meski belum sepenuhnya puas) mengunjungi Pantai. Kami sempat juga menapaki jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok menuju Ketep Pass di Magelang. Menuju tempat wisata yang satu ini, akan membuat kita iba pada motor atau apapun kendaraan yang membawa kita untuk menyapanya. Perjalanan menuju Ketep Pass kurang lebih sama dengan perjalanan menuju kawasan puncak di Bogor, Jawa Barat dan Malino, Sulawesi Selatan. Letak Ketep Pass yang berada di puncak Bukit Sawangan membuat pemandangan, bila kita ada di sana, sangat menawan karena kita bisa langsung melihat Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang menjadi latar obyek wisata yang satu ini. Ketep Pass, yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, merupakan wisata kegunungapian, makanya di sana terdapat Museum Vulkanologi, yang mencatat fakta-fakta dan segala aktifitas di gunung Merapi sejak akhir abad 19 hingga letusan terakhir tahun 2009 lalu. 
Latar Merapi dari Ketep Pass
Cheeeseee, baby!
Bicara Jogja, pasti nggak afdol rasanya kalo nggak datengin Candi-candi yang ada di sana. Yang terkenal pasti Borobudur dan Prambanan. Pertama, kami berkunjung ke Prambanan. Dengan mengikuti paket wisata candi, kami juga mengunjungi Candi Ratu Boko, yang ternyata dulunya adalah istana kerajaan sang putri, Roro Jonggrang. Sudah puas melihat gugusan candi tersisa di Prambanan dari jumlah awalnya 999+1 candi. Beberapa hari berikutnya, giliran Borobudur kami samperin. Ke Borobudur ternyata kita bisa sekalian ngelihat Candi Mendut, yang memang pasti dilewati saat menuju Borobudur dari jalan Magelang-Jogja. Candi peninggalan Wangsa Syailendra ini memang megahnya nggak kira-kira. Meskipun Borobudur merupakan candi Buddha, kini tidak ada lagi warga di Borobudur yang menganut agama tersebut, namun masih ada Wihara yang kokoh berdiri di sekitar Candi yang menandakan ke-Bhineka-an Indonesia. Museum yang berada di Prambanan dan Borobudur juga menjadi tempat sempurna untuk memberikan kita oleh-oleh ilmu mengenai kedua situs wisata terkemuka di Tanah Air itu.
Kita pun megah!

Kalo dulu Ratu Boko tempat ratu, nah ini buktinya! :)
Seandainya Roro Jonggarang nggak PHP-in Bandung Bondowoso, nggak akan ada ini.
Seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia tuh malu, masa di abad 9, dengan candi-candi, kita sudah bisa nyamain pencapaian peradaban Romawi di Eropa, sekarang kita yang telah menyatu di Nusantara sebagai Indonesia tidak mampu menujukkan kemegahan kita di masa lampau. Situs wisata seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur juga menjadi bukti bahwasanya bila obyek wisata yang dikelola dengan baik dan serius akan menghasilkan keuntungan bagi warga dan pemerintah setempat, Provinsi dan juga Pusat. 
Lantai "L" ini yang buat Borobudur tetap bertahan sampe sekarang.

Ada yang tahu maksud dari titik putih ini? :))
Berkunjung ke Jogja, juga kurang lengkap kalau tidak menyicipi aneka kulinernya. Berhubung gue dan Laras adalah pasangan yang menyukai makan dan tidak pantang untuk segala jenis makanan, jadi nggak susah buat kami untuk menikmati kulinari. Dimulai dari makan angkringan di depan kantor harian Kedaulatan Rakyat (KR) dan, yang terkenal juga, angkringan Kopis Jos di samping Stasiun Tugu. Lalu, makan malam nasi goreng di depan SMA 3. Nasi goreng yang satu ini jadi tempat makan nasi goreng terame yang gue pernah liat, buktinya aja pengunjungnya makan sampe di atas trotoar sepanjang lebih dari 50 meter. Udah kayak parade makan nasi goreng, bukan? Seru banget lah, apalagi sambil ngeliatin pelayannya yang hilir-mudik nerima dan anterin pesanan pengunjung. Yang gue heran, tuh pelayan (yang cuma ada 2 orang) apal aja lagi pesenan-pesenan orang. Mungkin pas sebelum terjun di lapangan mereka udah di training untuk melatih ingatan. Mungkin.

Selanjutnya, Laras pun mengajak gue makan di menu makanan favorit mahasiswa Jogja, Ayam Geprek. Sepintas nggak ada yang istimewa, cuma ayamnya di-bejek kayak ayam penyet, tapi trademark ialah saat memesan nasi kita akan ditanya jumlah cabe rawit yang akan dicampur di nasi kita. Mulai dari 1 sampe 10 cabe atau lebih pun di-jabanin buat diulek dan dicampur ke nasi yang udah kita ambil sendiri. Awalnya gue merasa, makan nasi ayam aja kok kayak keripik maicih ya, pedesnya berlevel-level.  Gue sih suka makan pedes, meski impact-nya keringet ngucur kayak abis lari marathon, tapi jujur mau makan cabe berapa pun kalo makannya ama Laras mah nggak kerasa. Kan, nasinya pedes ditambah ngelihat dia yang manis. Jadi, pedes + manis = netral! Eeeaaaa... :D

Satu lagi yang sempat kita cicipi bersama ialah Kalimilk. Sejenis cafĂ© susu, yang menyediakan berbagai macam rasa susu, seperti susu durian, oreo, strawberry, dan lain-lain (saking banyaknya). Oh ya, yang sekarang mulai booming di sana ialah Tahu Bakar Surfer, yang ada di Jalan Cendrawasih, kompleks sentra distro Jogja. Ini jenis makanan baru, yang cukup memuaskan bagi pecinta tahu karena menyediakan berbagai macam tahu bakar yang diselimuti bumbu khas. Dan penamaannya juga berdasarkan nama pantai favorit di Indonesia untuk para peselancar. Makan lotek di Colombo pun nggak kita lewatkan. Ditambah juga kami sempat makan berbagai jenis jamur di Jejamuran. Dan satu lagi yang memang menjadi favorit kita berdua, es krim. Kita sempat makan es krim di Rumah Roemi, dan kalau kita suntuk dan nggak ada lagi arah jalan yang dituju es krim cone McD di Galeria Mall menjadi pelarian terbaik. Ya, apapun yang dijalani menjadi menyenangkan selama berdua. 

Nah inilah kisah sebulan gue selama di Jogja bersama kekasih hati, My Larallezza. Bagi orang Jogja kota pelajar, buat gue Jogja Kota Cinta. Berbagai macam momen udah sempat kita rasakan bersama untuk memenuhi rindu, menyegarkan kebersamaan, dan mematenkan kembali mimpi-mimpi. Perpisahan sementara terjadi di sore hari, 5 Maret 2013, Stasiun Lempuyangan.

Sampai ketemu lagi Jogjakarta, sampai bersua lagi sayaaang di hari kelulusanmu.

LOVE.

Catatan: Perjalanan ini nggak bisa terlaksana tanpa bantuan dan kebaikan kerabat terbaik gue di Jogja, Yuniar Tri Wahyuti. Thanks kerabat! ;)
Gue, Laras, dan Yuni. (Source: Yuni's Instagram)

Komentar

miftha mengatakan…
curang,,,,,,,,,keliling jawa tapi ngga' bawa ole2 ke makassar ishhhh (- _-"

Postingan Populer