Ibrahimovic: Mourinho Terbaik, Guardiola Pengecut

Sampul "I Am Zlatan"  (itunes.apple.com)

Zlatan Ibrahimovic salah satu striker terbaik dunia dengan berhasil mengawinkan dua kali predikat capocannoniere Serie A. Ibra juga menjadi satu-satunya pemain yang berhasil meraih delapan gelar juara liga di tiga negara dan lima klub berbeda secara berurutan. Kini, bersama Paris Saint Germain ia menuju gelar liga kesembilan dan gelar top scorer ketiganya.

Sudah banyak diketahui bahwa Ibrahimovich ialah salah satu pemain berpredikat bad boy. Jiwanya yang selalu meledak-ledak, pembawaanya yang cool namun menyimpan ambisi besar, serta menyukai tantangan ialah pertandanya. Untuk ukuran pesepakbola kepribadian Ibra sangatlah baik bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi tim,  namun bila salah melangkah jiwa bad boy-nya itu bisa menjadi boomerang yang dapat menghancurkan karirnya dan membinasakan seluruh impiannya di lapangan hijau.

Di dalam autobiografinya yang berjudul I Am Zlatan, Ibracadabra mengupas secara jujur peran-peran para pelatih yang sudah membawanya hingga ke titik puncak karir pesepakbola. Ibra menilai Roland Andersson, yang melatihnya di Malmo FF, and Leo Beenhakker, direktur teknik Ajax, sebagai dua orang yang paling berperan dalam perkembangan karirnya. Ibra mendeskripsikan dua pelatih tersebut sebagai “orang yang memercayaiku disaat yang lain meragukan.” Selain itu, Ibra juga mengungkapkan bagaimana Fabio Capello, pelatihnya kala membela Juventus, membentuknya sebagai predator di depan gawang. Don Fabio memaksanya untuk menghilangkan gaya Belanda yang terlalu lama menguasai bola, memintanya untuk meningkatkan kondisi fisiknya karena bagi Capello tubuh tinggi dan skinny tak akan mampu memenangkan duel-duel dengan bek-bek Italia yang kuat dan kokoh, serta untuk menajamkan insting golnya Capello meminta Ibra menyaksikan video gol-gol Marco van Basten karena bagi Capello, Ibra memiliki kesamaan dengan striker legendaris Belanda tersebut (di chapter iain Silvio Berlusconi juga mengamininya).

Dalam autobiografi yang terbit pada 2011 lalu, Ibra juga menjelaskan kesan mendalamnya dengan dua pelatih terbaik saat ini, Jose Mourinho dan Pep Guardiola. Meskipun hanya sempat dilatih semusim oleh dua pelatih tersebut, kesan yang ia dapatkan jauh lebih dalam. Hingga Ibrahimovich memberikan khusus satu chapter untuk menceritakan bagaimana Mourinho menjadi terbaik baginya dan Guardiola tak lebih dari seorang pengecut.

Ibrahimovich dan Mourinho bersama di Inter pada musim 2008/09. Pertama kali mengetahui Mounrinho sebagai pelatih barunya ialah saat ia tengah membela Swedia di ajang Piala Eropa di Austria-Swiss. Awalnya, ia hanya mengenal Mou dari surat kabar, tak lebih dari itu. Akan tetapi kesan pertama Ibra terhadap sosok The Special One bukanlah saat mereka bertemu di hari pertama latihan di markas Internazionale, melainkan ketika Ibra masih berjibaku dalam panji negara di event sepakbola terakbar di benua biru tersebut. Saat itu, Mou mengirimkannya SMS berisi sarannya atas penampilan Ibra di ajang tersebut. SMS itu juga menjadi yang pertama ia dapatkan dari seorang pelatih.

Ibra menerangkan bagaimana Mou sukses memberikan ikatan yang kuat antara dirinya sebagai pelatih dengan para pemain melalui SMS dan e-mail. Bahkan saat pertama kali bertemu dengan Helena (kekasih Ibra), Mou membisikannya kata-kata ini,

“Helena, tugasmu hanya satu. Beri makan Zlatan, biarkan dia tidur, buatlah dia senang!”

Mourinho bagi Ibra layaknya pemimpin pasukan yang selalu mempersiapkan tim dengan sangat keras dari sebelum hingga menjelang pertandingan, di sisi lain ia juga peduli kepada armadanya. Saat permainan tim tidak sesuai dengan harapannya, Mou memberikan permainan psikologisnya. Ia mengumpulkan para pemain untuk bersama-sama menonton pertandingan terakhir mereka, lalu Mou berkata kepada skuad, “Lihatlah ini! Sangat buruk! Sangat sia-sia! Ini bukanlah kalian. Ini pasti saudara kalian, sisi terburuk kalian.” Mourinho mengatakan ini semua tanpa berteriak, sehingga pemain langsung setuju dan menyadari kesalahan mereka.
Sosok Ibra yang sangat meledak-ledak apalagi bila ada pendapat orang lain yang tidak sesuai baginya, di hadapan Mourinho ia tidak pernah melakukan itu. Bahkan ketika Mourinho mengatakan bahwa dirinya masihlah nol dan belum ada hal yang ia lakukan sebagai pesepakbola. Ibra tidak memrotesnya, ia mengakuinya dan perkataan itu sukses membakar semangatnya.

Mourinho merupakan master manipulasi, ia terkadang memuji setinggi langit lalu di waktu lain tak segan membuat para pemain terjatuh dengan kata-katanya. Namun, ada satu hal yang membuat Ibra penasaran dengan sosok pelatihnya tersebut, yaitu mimik wajahnya. Apapun yang terjadi dalam tim, berapa banyak gol yang telah ia ciptakan, wajah Mou tidaklah berupa. Hanya berupa wajah dingin tanpa senyum. Ketika Ibra mencetak gol indah dengan tendangan kung fu ke gawang Bologna, wajah Mourinho tetaplah sedingin es padahal seluruh official tim, pemain, dan tifosi yang memadati stadion Giuseppe Meazza berteriak kagum.
Salah satu kesan terbaik Ibra dengan Mou ialah saat Internazionale telah sukses mengunci gelar scudetto di tiga pekan tersisa, Ibra menginginkan gelar capocannoniere Serie A pertamanya sekaligus menjadi pemain Swedia kedua yang meraih gelar pencetak gol terbanyak di Italia setelah Gunnar Nordahl di tahun 1955. Ketika Ibra menganggap bahwa Mourinho tidak akan mengungkit-ungkit hal ini karena gelar top skorer hanyalah capaian pribadinya, bukan tim.

Ternyata sikap Mou sungguh di luar dugaannya. Sesaat setelah latihan, Mourinho mengumpulkan skuad I Nerrazurri dan di hadapan mereka Mourinho berujar, “Kini saatnya kita memastikan Ibra menjadi top skorer juga.” Di pertandingan terakhir musim itu melawan Atalanta, Ibrahimovic mencetak gol kemenangan Internazionale dengan tumitnya. Gol itu bukan hanya membuat timnya unggul 4-3, juga memastikan Ibra menjadi top skorer Serie A mengalahkan Marco Di Vaio dan Diego Milito. Gol itu pula menjadi sangat spesial bagi Ibra karena dengan gol itu pertama kalinya ia melihat ekspresi berbeda sang pelatih. Tak ada lagi raut wajah sedingin es, semua berganti dengan lompatan dan sorakan kebahagian Mou layaknya anak kecil.
Dalam buku perjalanan hidupnya itu, Ibracadabra menuliskan bahwa apa yang Mourinho telah berikan dan lakukan padanya membuatnya rela mati demi sang allenatore.

Kegemilangan musim Ibra di Internazionale membuatnya dikontrak oleh Barcelona dengan mahar sebesar 69 juta euro plus Samuel Eto’o. Angka ini bukan hanya menjadi investasi terbesar Barca bagi seorang pemain, juga membawa Ibra menjadi pemain termahal kedua di seantero jagad. Berubah kostum, berubah pula pelatih. Di Catalan, Ibra dilatih oleh pelatih fenomenal lain, Pep Guardiola. Awalnya Ibra menganggap kepindahannya ke Barcelona sebagai mimpi yang menjadi kenyataan, seiring berkembangnya waktu situasi di Barcelona membuat dirinya muak dan menganggap kepindahan ke Spanyol merupakan keputusan terbodoh sepanjang hidupnya.
Setelah disambut 70,000 Barcelonista di Camp Nou pada hari pengenalannya, Ibra langsung berlatih bersama skuad Barcelona. Di hari pertamanya sebagai pemain Barca, Guardiola menemuinya dan langsung memintanya untuk tidak mengendarai Ferrari ke tempat latihan. Awalnya, Ibra tidak mempermasalahkan itu, bahkan ia rela mengganti tunggangannya dari Ferrari menjadi Audi pemberian klub. Ia juga terkesan dengan kepribadian tiga bintang Barca, Messi, Xavi, dan Iniesta. Di Italia, semua pemain yang sudah menyandang predikat bintang akan memamerkan kebintangannya di ruang ganti, di hadapan pemain-pemain lain. Sedangkan, ketiga bintang Barca selalu down to earth, tidak pernah memperlihatkan kebintangan mereka kepada sesama pemain. Ia kagum akan hal itu, walaupun awalnya ia merasa aneh karena sikap pemain-pemain Barca yang digambarkannya seperti anak-anak sekolahan, yang selalu melakukan apapun yang pelatih minta.

Iklim tim yang bersahabat dan memperlakukan pemain setara itu membuat Ibra merasa cepat menyatu dengan bintang-bintang Barca yang lain. Alhasil, Ibra langsung menjadi lumbung gol utama Barca menggantikan sang megabintang Leo Messi. Namun, keadaan ini ternyata tidak disukai Messi. Saat di arena latihan Messi meminta secara langsung kepada Guardiola perubahan perannya di lapangan agar ia lebih banyak menyetak gol.

“Saya tidak ingin bermain di sisi kanan sebagai sayap. Saya ingin bermain di tengah.” ucap Messi kepada Pep pada salah satu sesi latihan

Permintaan Messi itu juga diketahui Ibra. Dan tanpa ada pembicaraan kepada awak tim lain, Pep mengganti formasi 4-3-3 menjadi 4-5-1 dengan membiarkan Ibra sendirian di depan. Formasi baru ini semata-mata untuk memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Messi karena bola akan diarahkan ke sisinya sebelum sampai kepada Ibra sebagai target man. Dengan strategi baru Ibra tidak bisa leluasa bergerak untuk mendapat bola ataupun untuk membuka ruang kepada rekan-rekannya. Guardiola mengorbankan ia dan mengunci kebebasannya sebagai pemain yang selalu ingin bergerak ke berbagai sisi lapangan.

Demi mendapatkan penjelasan mengenai perubahan perannya di dalam tim, Ibra menemui langsung Guardiola di tempat latihan dan mengatakan, Namun, bukannya penjelasan yang ia dapatkan Guardiola hanya diam dan tidak melakukan tindakan seperti halnya yang dlakukan untuk sang bintang, Messi. Tiga pekan berlalu, Guardiola selalu diam dan enggan menatap Ibra face-to-face. Beruntung, ia satu tim dengan Thierry Henry yang sama-sama bisa berbahasa Inggris. Sehingga situasi itu bisa Ibra jadikan joke dengan Henry. Salah satunya,

“Apakah ia sudah menatapmu?” tanya Henry dalam satu sesi latihan
“Belum. Tapi setidaknya saya bisa melihat punggungnya.” jawab Ibra
“Ya, setidaknya itu sebuah perkembangan.”

Keadaan semakin buruk bagi Ibra, ketika ia mendapat cedera. Tidak seperti pelatih-pelatih lain yang tak sungkan menanyakan kondisinya dan apakah ia sudah bisa bermain di pertandingan selanjutnya, Guardiola tidak melakukan hal itu sama sekali. Keadaan itu semakin membuat Ibra merasa dicampakkan. Dia yang sudah berusaha mengubah pribadinya yang temperamen menjadi lebih lembut, tidak mengendarai Ferrari, ternyata ia dicampakkan oleh seseorang yang ia sangat hormati di dalam tim. Bahkan keadaan itu membuat Ibra jenuh dengan sepakbola. Inilah pertama kalinya ia merasakan tak punya lagi passion untuk bermain sepakbola. Beruntung ia memiliki Helena dan dua anaknya, Maxi dan Vincent, yang menjadi pelariannya atas situasi pelik yang ia alami.

Dengan ketidakpuasannya terhadap perlakuan Guardiola yang selalu diam dan menghindarinya. Hingga akhirnya saat melawan Villareal di La Liga, kesabaran Ibra mencapai batasnya. Di ruang ganti pasca pertandingan, ia menendang sebuah tong besi berisi baju-baju pemain, lalu berteriak kepada Guardiola dengan segala uneg-uneg yang selama ini ia pendam di dalam hati. Ibra meledak dan ini memercik perang yang semakin besar. Guardiola semakin menganggapnya sebagai masalah di tim dan orang gila. Kekalahan dari Inter Milan di ajang Liga Champions juga memperburuk hubungan Ibra dan Guardiola karena sang pelatih seakan-akan menyalahkannya semata atas kekalahan itu.

Ibrahimovic mengakui bahwa ia dan Vieira pun menjadi teman baik setelah mereka sempat bertengkar di hari pertama latihan di Juventus. Ia juga tidak pernah mendapat masalah dengan pelatih paling disiplin di muka bumi pada diri Mourinho dan Capello. Tapi, itu semua tidak berjalan baik terhadap Guardiola. Hingga di akhir musim, Guardiola menemuinya untuk mengatakan sesuatu hal,

“Saya tidak tahu apa yang saya inginkan darimu musim depan. Apakah kamu ingin mengatakan sesuatu? Apa pendapatmu?” tanya Guardiola tanpa menatapnya
“Hanya itu?” balas Ibra
“Ya, tetapi...”
“Ok, terima kasih,” Ibra meninggalkanya, lalu menelepon Mino Raiola, sang agen, untuk mencarikannya klub baru.

Bagi Ibra, ia memahami bagaimana situasi antara ia dan Pep tidaklah dewasa. Ibra menganggap pekerjaan pelatih yang sesungguhnya ialah mampu menyatukan berbagai macam kepribadian pemainnya dan meraih keuntungan dari perbedaan setiap kepala. Di antaranya, ada yang tangguh. Ada yang seperti Maxwell atau ada juga yang seperti Messi dan gangnya. Bagi Ibrahimovic, Guardiola mengendarainya layaknya sebuah Fiat, padahal ia adalah sebuah Ferrari yang ingin selalu berlari kencang demi ambisi-ambisinya.
Zlatan - Pep - Mou (dailymail.co.uk)
Dengan pengalamannya dilatih langsung oleh dua pelatih terbaik saat ini, Ibra memiliki kesan tersendiri terhadap keduanya. Ibrahimovic mendeskripsikan Mourinho sebagai seseorang yang mampu menyalakan cahaya, sedangkan Guardiola ialah pencipta kegelapan.


Komentar

Postingan Populer