Riwayat Pendidikan MAHAR

Hari ini, 5 Juli 2013, adik terbungsu gue dipastikan, Alhamdulillah, diterima sebagai salah satu dari 341 siswa baru di SMA Negeri 2 Tangerang, yang notabene salah satu SMA paling legendaris dan prestis di Kota Tangerang. Capaian itu seakan melengkapi riwayat pendidikan 12 tahun kami bertiga yang selalu saja mengenyam ilmu pengetahuan di sekolah yang sama. Atau setidaknya satu sekolah pernah dan menjadi tempat bersekolah dua di antara kami.

Saya Muhammad Ikhsan Mahar adalah anak sulung dari sepasang kekasih beda generasi dan beda bangsa, Bugis dan Betawi. Perbedaan bangsa (baca: suku) jelas meragamkan suasana kami sekeluarga. Adik pertama saya, Muhammad Fachri Mahar (Jiji) lahir 11 bulan setelah saya menghirup nafas di dunia per Oktober 1991. Lalu, di penghujung 90-an dan memasuki generasi krismon (krisis moneter) terlahirlah satu sosok perempuan yang menjadi gabungan antara gue dan Jiji dari segi intelektualitas ialah Aisyah Maharani (Caca). Caca merasakan udara dunia memasuki bulan ketiga masa kepemimpinan BJ Habibie sebagai Presiden RI ke-3.

Prinsip pendidikan yang ditanamkan Ayah dan Ibu kami mungkin sedikit berbeda dari orang tua kebanyakan. Sejak masuk Sekolah Dasar (SD) di usia yang belum genap 6 tahun, Ibu selalu menekankan pentingnya bersekolah di sekolah-sekolah berlabel “negeri”. Beliau selalu memotivasi kami dengan riwayat pendidikan mereka, yang tidak pernah sekalipun terlempar dari sekolah milik negara. Ayah, yang menghabiskan masa bangku sekolahnya di sebuah kabupaten bernama Sinjai di Sulawesi Selatan, selalu terdaftar di SD, SMP, dan SMA Negeri bahkan kini sekolah-sekolah yang pernah di duduki Si Boss telah menjadi sekolah legendaris dan dipercaya menjadi sekolah favorit yang telah menelurkan orang-orang sukses dari kabupaten tersebut. Ibu sendiri selama 12 tahun mengenyam pendidikan dasar di Ibu Kota selalu masuk dalam daftar sekolah-sekolah negeri. Dimulai dari SD dan SMP Negeri, hingga STM Penerbangan Negeri. Itu lah yang selalu menjadi bekal kami untuk selalu percaya diri.

Keharusan Negeri membuat kami tidak pernah memikirkan untuk sekolah di sekolah yayasan atau swasta. Ketika hendak menempuh jenjang tingkat pendidikan baru, teman-teman gue dan orang tua-nya pasti sibuk mencari dua alternatif sekolah, negeri dan swasta, sebagai pelabuhan terbaru mereka untuk melayarkan ilmu pengetahuan. Ada yang menjadikan sekolah swasta sebagai alternatif, namun tidak sedikit pula yang menggantungkan harapan mereka di sekolah swasta karena pesimis terhadap peluang diterima sekolah negeri pilihan. Bagi gue dan kedua adik, tidak sekalipun terlintas di pikiran kami untuk memiliki alternatif yang bernama swasta. Saat mendaftar sekolah baru pun, di pikiran kami hanya ada sekolah-sekolah negeri yang jadi pilihan. Tidak pernah terpikir, bagaimana kalau tidak diterima? Kami percaya, Allah telah memberikan jalan “Negeri” bagi kami.

Cerita riwayat pendidikan kami, dimulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Berhubung gue tidak sempat terdaftar di TK mana pun karena bagi Iksan kecil dulu TK bukanlah sekolah. Kalau teman-teman gue dulu bilang TK ngajarin kita buat bisa membaca, malah membuat predikat TK bagi Iksan kecil makin tidak berarti karena gue belajar membaca intensif dari Ibu setiap malam selepas Shalat Maghrib. Belajar membaca itu juga seakan menjadi password untuk mendapatkan izin apabila mau maen bola malam-malam di lapangan bulutangkis depan rumah. Jadilah, guru TK gue, ya Ibu gue sendiri. J

Jiji menjadi angkatan pertama TK Al Muhajjirin, lalu enam tahun kemudian diikuti Caca. Selepas TK mereka melanjutkan sekolah SD yang nyaris sama dengan gue di SDN Kampung Bambu 3. Meskipun di SDN Kampung Bambu 3, kita punya cara berbeda untuk masuk ke sekolah itu. Gue menjadi angkatan kedua di SD itu. Jiji sebelumnya sempat mendaftar di SD yang sama, namun karena ada kesalahan administrasi alhasil dia harus bermukim sementara di SDN Kampung Bambu 2, yang hanya berjarak selemparan batu. Sedangkan Caca, masuk di SDN Kampun Bambu 3 di tahun ajaran 2004/05, akan tetapi karena kita sekeluarga pindah domisili di tahun 2008, dengan terpaksa Caca harus pindah sekolah. Jadi, hanya gue lah satu-satunya generasi pertama Mahar yang genap enam tahun bersekolah di SDN Kampung Bambu 3. Enam tahun yang berkesan, salah satunya karena di tahun 2000 atau pas kelas 5 SD gue sempet juara lomba Adzan. Dan kini, tetap menjadi juara perdana dan abadi di ajang itu karena setahu gue sampai kini belum di adakan lagi ajang serupa. :D

Lulus di SD tahun 2001/2002, gue memutuskan untuk melawan arus. Disaat banyak dan sebagian besar teman-teman memilih mendaftar di SMP 13 Tangerang, gue “melawan” dengan memilih SMP 4 Tangerang. Saat itu, belum ada satu pun guru yang tahu dimana letak SMP 4 ataupun bagi yang tahu, SMP itu dianggap sebagai sekolah mahal dan elite karena banyaknya mobil-mobil pribadi terparkir di sekitaran sekolah ketika jam belajar-mengajar berlangsung. Guratan takdir pun menempatkan gue sebagai lulusan pertama SDN Kampung Bambu 3 yang terdaftar sebagai murid di SMP 4 Tangerang. Di tahun-tahun selanjutnya, SMP 4 seakan menjadi tujuan favorit dan memiliki prestis tinggi bagi lulusan SD gue itu. Salah satu yang ikut tercantol ya adik gue sendiri, Jiji. Caca tidak bisa mengenyam pendidikan di SMP yang sama dengan gue dan Jiji karena jauhnya jarak rumah baru kami, jadilah dia melanjutkan sekolah di SMP 1 Kabupaten Tangerang. Di sana lah dia menuliskan guratan sejarah di salah satu sekolah tertua di bumi Tangerang, salah satunya dengan menjadi salah satu dari dua murid yang berhasil meraih nilai UN Matematika 10 sejak puluhan tahun sekolah itu telah berdiri.

Masuk di level akhir pendidikan wajib 12 tahun, Sekolah Menengah Atas (SMA), kali ini jejak gue tidak ada yang mengikuti. Setelah sebelumya, SD dan SMP, salah satu adik gue pasti memiliki ijazah yang sama dengan gue, di SMA berkata lain. Jiji dan (hari ini) Caca terdaftar sebagai siswa di SMA 2 Tangerang, yang jelas menjadi SMA terfavorit di Kota Tangerang setelah SMA 1 Tangerang. Orang-orang yang terdaftar di sekolah itu jelas punya kebanggaan mengenakan seragam batik motif hitam-putihnya. Jiji sempat beken sebagai jawara futsal di sana. Caca? Gue yakin akan ada sejarah prestasi lainnya yang akan dia tuliskan di sekolahnya itu. FYI, gue mendapatkan pendidikan menengah atas di SMA 5 Tangerang. Meskipun, belum mampu menyaingi pamor SMA 2, tapi kembali gue melawan arus dengan menjadi satu-satunya lulusan 3.1 (kelas unggulan) SMP 4 Tangerang yang melanjutkan pendidikan di SMA 5 Tangerang. Nge-band dan futsal adalah dua hal favorit gue selama berseragam putih abu-abu.

Itu lah riwayat pendidikan wajib 12 tahun kami, generasi pertama Mahar. Sekolah-sekolah tersebut lah yang telah menghiasi sejarah kehidupan kami karena satu sekolah selalu berhasil diisi dua di antara kami. Satu yang pasti, di bangku kuliah nanti Caca dipastikan tidak akan ke Makassar dan kuliah di UIN Alauddin, sebab sudah ada gue dan Jiji yang melengkapi kuota dua dari tiga Mahar. ;)


Motivasi Ayah dan Ibu untuk me-Negeri-kan kami terbukti berhasil. Alhamdulillah...

Komentar

Postingan Populer