Wisata Lainnya di Tanah Daeng

Berbicara tentang obyek wisata di kota Makassar tidak akan pernah lepas dari Anjungan Pantai Losari dan Benteng Rotterdam, yang memang telah menjadi unggulan dan primadona pemerintah setempat untuk menarik wisatawan lokal maupun asing. Seringnya dua tempat itu diekspos membuat Makassar terkesan mononton bagi wisatawan. Padahal masih ada banyak tempat kece lainnya di kota yang dulunya dibentuk oleh Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa itu, misalnya Monumen Mandala. Bahkan, monumen yang didirikan untuk memperingati pembebasan Irian Barat masuk dalam salah satu tempat rekomendasi di Makassar versi buku panduan travelling terpercaya, Lonely Planet, dengan sebutan versi kecil Monumen Nasional (Monas).

Bagi yang menyukai sejarah, Makassar juga menyediakan tempat-tempat yang mampu memenuhi dahaga atas rasa penasaran terhadap masa lalu kota yang di abad 17 sangat masyur dengan arus perdagangannya. Berikut saya akan berbagi kisah empat tempat wisata lainnya di Tanah Daeng.

1.  Chinatown
gerbang Chinatown

Layaknya kota-kota besar lainnya di dunia, Makassar juga memiliki kawasan Pecinan. Kawasan yang menjadi sentral berkumpulnya orang-orang Tiongkok ini berada di sekitaran wilayah pesisir, mulai dari Jalan Irian hingga Jalan Nusantara.

Kawasan ini hadir ketika maraknya pedagang Cina menjelajah ke Timur jauh di abad 16. Makassar yang saat itu memang menjadi kota pesisir dengan keberadaan Benteng Rotterdam di muka lautan, tidak lepas jadi incaran para saudagar asal Negeri Tirai Bambu.

Asyik rasanya menelusuri wilayah Pecinan ini dengan berjalan kaki. Dimulai dari sebuah gerbang yang menandakan kawasan Chinatown, kita akan disuguhkan bangunan-bangunan ruko yang memang menjadi wajah orang-orang Cina yang menggantungkan hidupnya dari usaha jual-beli. Bila sendirian berjalan kaki di kawasan ini, janganlah takut karena tidak jarang kita bisa bertemu dengan wisatawan-wisatawan luar negeri yang juga tengah menelusuri perkampungan Cina ini dengan kedua kakinya.

Satu daya pikat dari kawasan ini ialah sebuah Vihara berlantai empat yang menjadi sentral peribadatan warga sekitar. Vihara Ibu Agung Bahari akan sangat ramai saat Imlek tiba; pertunjukan barongsai dan aktifitas sembahyang di dalam Vihara menjadi daya tarik para wisatawan akan lokasi ini.

Sayangnya, daerah Pecinan di Makassar ini telah kehilangan sebagian magnetnya. Tidak ada ciri khas kecuali keberadaan orang-orang Cina. Selain itu, untuk urusan jual-beli kawasan ini kalah mentereng dibandingkan pusat cenderamata dan emas di Jalan Somba Opu, yang juga dikuasai ras Tiongkok. Pusat kuliner khas Pecinan seperti Cakwe di Jalan Serui, bubur ayam di Jalan Sulawesi, dan mie pangsit di Jalan Irian, seiring berjalannya waktu juga semakin sulit ditemukan.

2. Museum Kota Makassar

Inilah satu dari dua museum yang terdapat di Makassar setelah Museum La Galigo di salah satu bangunan Benteng Rotterdam. Museum yang menyimpan segala bentuk peninggalan sejarah Makassar berada tersembunyi bagi sebagian besar warga kota ini, meskipun berlokasi di pusat kota, tepatnya di Jalan Balaikota.

Dibangun pada medio 1916 arsitektur museum ini bergaya art deco dengan dua lantai, sehingga nuansa kolonial masih amat kental. Di dalam museum ini terdapat berbagai macam barang-barang dan dokumentasi sejarah kota Makassar hingga hari ini. Pada lantai pertama, terdapat narasi bagaimana Makassar di era kerajaan, masa Hindia-Belanda, dan setelah merdeka dalam balutan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, terdapat pula foto-foto yang melengkapi narasi-narasi tersebut. Di lantai dua, kita bisa menyaksikan sebuah ruang rapat/pertemuan yang digunakan Gubernur Sulawesi Selatan dan Walikota Makassar di masa lampau. Juga ada sebuah ruangan khusus untuk mengenang jasa Walikota Makassar ke-7 di masa pemerintahan RI, yakni H. M. Daeng Patompo (1962-1976). Untuk menggambarkan ragamnya budaya di Makassar, ditampilkan baju-baju tradisional segala etnis yang bermukim di kota yang pada Orde Lama disebut Ujung Pandang itu. Menariknya, seluruh foto-foto yang mendokumentasikan Makassar di masa lalu berasal dari museum-museum yang terdapat di Belanda, seperti Museum Volkskundig, Museum Tropen, dan Museum KITLV.
lambang Makassar di era Hindia Belanda.

Museum penting ini masih sangat kurang sosialisasi. Buktinya dari buku tamu yang saya perhatikan, pengunjung di hari-hari normal bisa dihitung jari. Pemerintah Makassar seharusnya juga memperhatikan visualisasi data museum untuk menarik lebih banyak pengunjung, misalnya dengan digitalisasi data yang menunjukkan momen-momen bersejarah guna memperindah tampilannya, jangan hanya tempelan-tempelan kertas seperti saat ini. Serta untuk kenyamanan pengunjung, patut juga diperhatikan kondisi gedung karena di beberapa titik langit-langit telah rusak.

Keberadaan dan ilmu pengetahuan haruslah diperhatikan, sebab kehadiran museum ini sangat diperlukan untuk menapaki tilas perjalanan sebuah kota yang lahir pada 9 November 1607, atau bertepatan dengan shalat Jumat berjamaah perdana di tanah Kerajaan Tallo.

3. Makam Pangeran Diponegoro

Perjalanan saya berlanjut di Jalan Pangeran Diponegoro untuk mengunjungi makam salah satu pahlawan nasional, Pangeran Dipenogoro. Kompleks makan ini bukan hanya menjadi hunian terakhir Pangeran Diponegoro dan istri, R.A. Ratu Ratna Ningsih (sebuah nama yang sangat cantik), namun juga anak-cucu dan 10 pengikut setia beliau sejak ditawan di Makassar pada 1834.

Meskipun ditawan oleh tentara VOC di salah satu sudut Benteng Rotterdam dalam sisa hidupnya, pemakaman calon pewaris tahta Sultan Hemengkubowono III itu dilakukan oleh istri dan keenam anaknya. Awalnya kompleks pemakaman itu memiliki luas 2 hektar, yang dikelilingi oleh rumah-rumah keturunan Pangeran Dipenogoro dalam medio per 1.000 meter, namun seiring berjalannya waktu banyak warga pendatang yang membangun rumah di sekitar kompleks dan mengklaim sebagai milik pribadi. Demikian ungkap Hamzah R. Dipenogoro yang menemani saya bercengkerama di makam Pangeran yang diberi gelar “Dipanegara” karena pengaruh besarnya di tanah Jawa pada abad 19.

Hamzah merupakan cucu generasi keempat Pangeran Dipenogoro dari B.R.M. Abdul Gani Dipenogoro anak ketiga hasil pernikahannya dengan R.A. Ratu Ratna Ningsih. Tugas Hamzah sehari-hari ialah merawat kebersihan kompleks pemakaman buyutnya itu sebagai warisan turun-temurun. Dan sebagai penanggung jawab utama pemakaman itu ialah R.M Saleh Yusuf Dipenogoro, yang tidak lain adalah bapaknya. Pria yang lahir pada 1939 itu telah mengabdikan hidupnya untuk menjaga dan melestarikan keberadaan kompleks pemakaman Pangeran Diponegoro.
Pusara Pangeran Diponegoro dan Istri

Sebagai kompleks pemakaman yang dirawat langsung oleh pihak keluarga, Hamzah menolak segala macam bentuk retribusi bagi para peziarah yang hendak datang seperti halnya tempat peninggalan sejarah yang dikelola pemerintah.

“Saya membebaskan siapapun yang ingin mengunjungi makam Pangeran Diponegoro. Dan selaku tuan rumah, saya melarang segala bentuk retribusi demi memberikan kenyamanan bagi para peziarah,” kata Hamzah
Musholla Al Ikhsan di makam Pangeran Diponegoro :)
Sebagian besar peziarah kompleks pemakaman tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera. Sedangkan, warga Makassar dan sekitarnya cenderung enggan datang, kecuali pejabat-pejabat pemerintahan.

4. Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan

Seminggu menjelang perayaan HUT RI, 17 Agustus lalu, saya tertarik membaca sejarah tentang seseorang bernama Raymond Pierre Paul Westerling. Westerling ialah salah satu komandan terkemuka tentara Belanda menjelang akhir Perang Dunia II di Nusantara. Salah satu sepak terjang paling terkenal dari Pria kelahiran Turki di Indonesia adalah “Pembantaian Westering” di bumi Sulawesi Selatan, yang disebut sebagai pembantaian terkejam selama berabad-abad Belanda mengoloni Indonesia.

Monumen ini dibangun di atas bekas lubang besar yang dahulu tempat ribuan mayat pembantaian dikuburkan sebagai penghormatan kepada korban dan keluarganya. Westerling melakukan teror kepada masyarakat pro republik pada 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947, dimulai dari Makassar, lalu menyisir arah selatan ke Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba, dilanjutkan lagi ke Pare-pare, Enrekang, Soppeng, Mandar, Soppeng dan Bone. Banyaknya wilayah yang disisir menyebabkan Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar membisikkan jumlah 40.000 jiwa kepada Soekarno untuk menunjukkan betapa kejamnya Belanda. Namun, sejarahwan Anhar Gonggong, yang Ayahnya juga menjadi korban pembantaian tersebut,  tidak menyebut jumlah pasti tetapi hasil perhitungannya mencapai 20.000 jiwa melayang. Dua angka tersebut jelas dibantah Westerling. Ia hanya menyebut kisaran 300-an korban jiwa.  

Monumen yang berada di Jalan Langgau Kecamatan Tallo memang tidak banyak diketahui keberadaannya oleh warga Makassar dan sekitarnya. Bagi warga sekitar yang bermukim di sekitar monumen tersebut hanya sekedar tahu nama monumen itu, tanpa mengetahui asal-usulnya.

Monumen tersebut menampilkan relief yang mendeskripsikan raga-raga yang berjatuhan setelah ditembak timah panas. Kehadiran patung anak-anak laki-laki yang memanggul relief tersebut seakan menjadi simbol tanggung jawab yang harus mereka emban pasca tewasnya Ayah-ayah mereka.

Sebagai lokasi bersejarah, monumen tersebut dipugar seperti sebuah taman asri yang ditumbuhi pepohonan rindang. Ada pula taman bermain bagi anak-anak. Pertemuan saya dengan Ningsih (9 tahun), Amel (6), dan Evi (10), yang hendak bermain di taman monumen membantu saya masuk ke dalam kompleks monumen karena saat saya mengunjungi tempat tersebut tidak ada petugas yang berjaga. Di kompleks monumen terdapat juga Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Turikale.

Inilah satu tempat bersejarah lain di kota Makassar yang kurang dijamah, baik oleh pemerintah ataupun masyarakat. Di tambah lagi, kehadiran museum di monumen itu pun sudah terlupakan karena kurangnya kepedulian.

Kesimpulan

Makassar sebagai kota besar memiliki potensi wisata sejarah luar biasa. Tetapi,  masih banyak obyek-obyek tersebut yang kurang mendapat ‘kasih sayang’ seperti yang diberikan kepada Anjungan Pantai Losari dan Benteng Rotterdam sebagai maestro wisata.

Kunjungan saya ke empat tempat di atas menyadarkan saya bahwa Makassar mempunyai sejarah panjang sebagai bagian besar dari peradaban Indonesia, yang seharusnya tidak dilupakan oleh siapa pun yang mengaku cinta pada kota ini.  

Komentar

Anonim mengatakan…
wih ada ya monumen korban 40000 jiwa ._.

Postingan Populer