Nikmat

Kamu pernah bertanya, dapatkah aku memenuhimu masa depan?
Kau sempat bertanya, mungkinkah aku menjadi jalan pamungkasmu?
Dalam seruput aroma khas di setiap espresso pagi.
Aku mencoba mencari jawabnya.

Kini, aku coba membalas.

Tes... Tes...

Coba tutup matamu sekarang.
Pahamilah kehitamanan yang abstrak namun tampak kau lihat.
Coba rentangkanlah tanganmu sejauh mungkin.
Rasakan gerakan sendi-sendi yang membuatmu ngilu.
Coba lepas alas kakimu.
Rasakan butir-butir mungil pasir dan partikel lainnya yang tanpa ragu menghantam telapak.

Lalu, apa hubungan itu semua atas pertanyaanmu?
Pertama, ketika aku menutup mata.
Pekat hitam yang ku lihat seiring perlahan hilang ketika aku membayangkan senyummu.
Aku ikut tersenyum pula, meski entah apa artinya.

Saat tangan ku rentangkan.
Aku membayangkan panjang pundak dan pinggulmu.
Meskipun, nanti berat badanmu bergeser jauh ke kanan.
Aku rasa rentangan tangan ini tetap mampu menjangkau tubuhmu.

Kemudian, ketika telapak kaki menghantam tanah tanpa alas.
Aku merasakan kemurnian bumi.
Tak terlindungi. Dan tak pura-pura mesti dilindungi.
Aku tahu, kau tidak pernah mengharap perlindungan.
Tapi, dalam setiap doa yang ku panjatkan, dirimu selalu ku mohonkan lindungan-Nya.

Mungkin aku terlalu berlebihan.
Biarlah.
Toh, aku punya stok rasa cinta yang dititipkan Tuhan tanpa batas.

Kalau besok kamu sudah membaca ini.
Semoga Tuhan membalas doaku.
Sebab, dirimu bentuk aku mensyukuri nikmat-Nya.

Komentar

Postingan Populer