24 Jam di Baubau, Buton

Berada di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, dijamin tidak akan membuat para pelancong mati gaya. Baubau memiliki kombinasi kekayaan yang jarang dimiliki destinasi wisata lain. Kita bisa menyelami kekayaan sejarah masa lalu di benteng peninggalan Kesultanan Buton yang telah berusia lima abad, serta sekaligus menikmati anugerah alam yang diberikan sang Pencipta untuk tanah Wolio.

Dulu Baubau adalah pusat Kesultanan Buton yang mulai hadir pada abad ke-16. Di masa itu, Kesultanan Buton memiliki pengaruh besar di jazirah Sulawesi. Bahkan, seorang bangsawan Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan, yakni Arung Palakka rela mengarungi lautan untuk meminta suaka perlindungan dari Kesultanan Buton. Ketika itu, ia berupaya menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Kerajaan Gowa-Tallo pimpinan Sultan Hasanuddin.


Kini, kota itu menjadi kota terbesar kedua di Provinsi Sulawesi Tenggara setelah Kota Kendari. Untuk mencapai Baubau dari Kendari, bisa ditempuh melalui perjalanan udara dengan pesawat jenis ATR sekitar 30 menit, atau bisa menempuh perjalanan laut dengan kapal cepat selama 5 jam.

Sabtu (3/2)

Pukul 09.00

Benteng Keraton Buton
Lanskap Kota Baubau dari Benteng Keraton Buton.
“Belum dianggap menginjakkan kaki di Pulau Buton kalau tidak berkunjung ke benteng Buton,” tutur Hamrun (32), warga Baubau, yang ditemui di kompleks Benteng Keraton Buton, awal Februari lalu.

Benteng itu jelas menjadi destinasi wisata paling utama ketika mendengar nama Pulau Buton. Pasalnya, benteng yang membentuk lingkaran sepanjang 2,740 kilometer dan memiliki luas 23,375 hektar itu telah didapuk oleh Museum Rekor Indonesia dan Buku Rekor Dunia Guinness sebagai benteng terluas di dunia. Benteng itu pun memiliki 12 pintu yang merupakan penafsiran dari jumlah lubang di tubuh manusia.

Karena luasnya, maka untuk mengelilingi benteng itu, pengunjung alangkah baiknya naik ojek yang berada di sekitar kompleks benteng. Kini, di dalam benteng itu terdapat lima kampung. Kompleks benteng itu berada di bukit yang menyajikan pemandangan kota Baubau dan Selat Buton.

Pembangunan Benteng Keraton Buton dicetuskan oleh sultan Buton ke-6, yaitu Sultan La Buke yang memiliki gelar Sultan Gafurul Waduudu. Menurut Guru Besar Filologi Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, La Niampe, pembuatan benteng yang berbahan utama batu gamping berlangsung sekitar 10 tahun.

Salah satu pintu masuk benteng.
Sultan La Buke, yang berkuasa pada 1632 hingga 1645, mengerahkan sekitar 7.000 pria dewasa yang berada di Pulau Buton untuk membangun benteng sehari semalam. Selama pembuatan benteng itu, para istri memiliki peran memelihara ayam untuk makanan para suami yang mengerjakan benteng itu.

“Mereka rela meninggalkan profesi sebagai nelayan. Bahkan, ketika itu Sultan La Buke tidak pernah menjelaskan dasar pembuatan benteng,” kata La Niampe. Setelah selesai pembangunannya, benteng tersebut menjadi tempat perlindungan masyarakat Buton dari ancaman kerajaan lain di Pulau Sulawesi dan Belanda.

Ketika berada di kompleks benteng itu, kita bisa mengalami napak tilas prosesi pelantikan sultan Buton yang dipilih secara demokratis oleh dewan ahli adat. Bukan ditentukan berdasarkan garis keturunan layaknya suksesi di kerajaan lain.

Situs yang pertama dikunjungi ialah batu wolio. Dulu, para calon raja berada di batu itu untuk dimandikan dari air yang berasal dari sejumlah mata air di Pulau Buton. Lalu, proses berlanjut ke batu popaua yang memiliki lubang. Para calon sultan akan memasukkan kaki kiri dan kanan secara bergantian yang dibarengi dengan mengikrarkan sumpah jabatan.

Batu Popaua. Dulu setiap sultan yang dilantik wajib masukkan kaki kananya ke dalam lubang itu.
Kunjungan ke kompleks benteng diakhiri dengan melangsungkan salat dzuhur di Masjid Keraton Wolio. Masjid adalah pusat kegiatan kesultanan yang menjadi lokasi penobatan 33 sultan Buton.

Masjid Buton dan tiang bendera kesultanan.


Pukul 13.00

Air Terjun Tirta Rimba

Usai menyelami kekayaan sejarah Buton, maka selanjutnya adalah menikmati keindahan alam Baubau. Air terjun Tirta Rimba menjadi pilihan yang pasuntuk kabur dari teriknya matahari di Baubau. Objek wisata air terjun itu berada di dalam kawasan hutan lindung yang rindang dengan pepohonan, sehingga seolah menjadi payung alami dari cahaya matahari, sekaligus memberikan kesegaran bagi rongga paru-paru yang terbiasa menyerap udara mengandung polutan di Jakarta.

Objek wisata alam itu berjarak sekitar 5 kilometer atau 15 menit berkendara dari pusat kota Baubau. Dari jalan raya, pengunjung harus menempuh jalan masuk sekitar 1,5 km dengan kondisi jalan berkerikil.



Aliran air mengalir dari atas batu alam setinggi 6 meter. Alhasil, merasakan jatuhnya air yang deras menjadi momen yang menyenangkan. Apalagi aliran air itu bersuhu sejuk yang dapat membuat pengunjung bersedia berlama-lama menikmati “tamparan” air di tubuh.

Sebaiknya, pengunjung membawa bekal ketika mengunjungi air terjun Tirta Rimba. Sakingalaminya, belum ada warung makan di sekitar objek wisata itu.

Pukul 17.00

Pantai Nirwana
Warga menikmati sore di Pantai Nirwana.
Untuk menikmati pemandangan matahari terbenam di Baubau, Pantai Nirwana adalah tempat terbaik. Berjarak sekitar 30 menit atau 11 km dari pusat kota, pantai itu memiliki hamparan pasir halus berwarna putih kecokelatan yang bisa menjadi lokasi istimewa untuk menikmati deburan ombak dan detik-detik sang surya menghilang di sisi barat.

Pantai Nirwana juga menjadi tempat favorit warga Baubau untuk berenang dan bermain pasir pantai. Bagi yang tidak ingin merasakan hantaman ombak air laut, di sepanjang garis pantai itu tersedia puluhan gazebo kayu yang disediakan bagi para pengunjung yang ingin duduk menikmati suasana pantai.
Senja di Pantai Nirwana.

Pukul 19.00

Pantai Kamali

Setelah langit telah gelap, Pantai Kamali yang berada di pusat kota Baubau, menjadi tempat nongkrong favorit. Kondisi di Pantai Kamali serupa dengan Pantai Losari di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kawasan anjungan yang menghadap ke laut merupakan pusat aktivitas masyarakat. Puluhan gerobak, yang menjajakan makanan dan minuman, menjadi daya tarik untuk pengunjung.

Cukup siapkan Rp 10.000, kita sudah bisa mencicipi tiga buah pisang goreng yang dihidangkan dengan sambal tomat. Kemudian, meminum sarabba, yang berkomposisi jahe, santan, dan gula merah, adalah penghangat tubuh dari terpaan angin Selat Buton.

Minggu (4/2)

Pukul 10.00

Bukit Alam Kolagana

Bukit alam Kolagana yang terbentuk dari perbukitan karang merupakan bukti kalau Pulau Buton masih menyimpan kemurnian eksotisme alam. Objek wisata yang berada di wilayah Kelurahan Palabusa dikelola oleh masyarakat sekitar sejak satu tahun terakhir.

Jarak Bukit Alam Kolagana dari pusat kota Baubau sekitar 21 km atau dapat ditempuh perjalanan darat selama 45 menit. Dari jalan raya terdekat, kita harus berjalan menaiki bukit sekitar 200 meter untuk mencapai puncak bukit karang itu. Tetapi, jangan membayangkan ada jalan setapak yang disiapkan khusus untuk pengunjung. Sebab, perjalanan menanjak itu harus melalui jalan tanah yang dipenuhi batu karang.

Untuk memenuhi obsesi pengunjung yang ingin mengabadikan momen di Bukit Alam Kolagana, warga setempat membuat tempat duduk kayu dan tugu kayu bertuliskan “I Love You” dengan latar Pulau Muna dan Selat Buton. Karena itu, Bukit Alam Kolagana adalah salah satu lokasi intagramable di Kota Baubau.

Tak hanya itu, dari atas bukit, kita juga bisa menyaksikan lalu lintas kapal cepat dan kapal kargo yang menuju dari Baubau ke Kendari atau sebaliknya.

Pemandangan Teluk Buton dan kapal cepat Buton-Kendari.
Nah, itulah objek-objek wisata yang bisa kita sambangi ketika 24 jam berada di Kota Bau-Bau. Perpaduan wisata alam dan sejarah jadi romantisme yang akan terkenang saat kembali ke Ibu Kota...

Komentar

Postingan Populer