Berhentilah Mengeluh

Seorang teman beberapa hari lalu sempat bertanya, “Apa yang salah dengan gaya bicara saya?”. Pertanyaan itu muncul sesaat setelah dia keluar dari ruang dosen. Saat itu baru saja dia ‘disemprot’ oleh sang dosen karena tindak-tanduknya yang dianggap melewati kewajaran. Usut punya usut ternyata hal itu disebabkan oleh kurangnya tatak rama dia saat menghubungi sang dosen via jaringan telekomunikasi. Dosen saya ini sontak saja memberi pelajaran pada teman ini untuk berbicara lebih sopan dan menggunakan gaya bahasa sesuai tempatnya.

Beberapa menit berselang, teman ini langsung mengeluhkan perlakuan sang dosen di ruang maya, tepatnya di lini masa Facebook. Mungkin itu lah cara terbaik baginya untuk menyuarakan dan mengungkapkan keluhan di hatinya. Ketika curhat dianggap belum cukup, dan ketika dia butuh massa yang lebih banyak untuk tahu masalahnya, Facebook menjadi pelarian ampuhnya. Alhasil, puluhan komen mengisi status teman saya itu, bahkan ada juga yang memberikan jempol like-nya.

Kemajuan jaman memang telah mengubah banyak hal. Dahulu orang hanya ‘berani’ berkeluh kesah di media satu sisi, seperti buku harian atau diary. Kecanggihan teknologi juga berhasil membuat anak-anak muda berhasil menciptakan social media yang awalnya ditujukan untuk memperluas jaringan pertemanan, serta bila sempat juga digunakan untuk mengincar gebetan. Namun, seiring meluasnya penggunaan social media yang mampu menyentuh segala pelosok muka bumi, fungsi awalnya itu berubah menjadi lebih muram.

Melihat Facebook sekarang tak ubahnya mendengar kefrustasian seseorang atas segala hidup yang dianggapnya selalu penuh cobaan tanpa akhir. Kemarin masalah dengan sahabat, hari ini masalah di sekolah, dan besok tak heran ada masalah di keluarga, yang dengan enteng mereka bagikan kepada khalayak hanya dengan menekan huruf-huruf alphabet di papan qwerty di komputer ataupun telepon seluler. Selanjutnya, mereka akan berharap ada komentar dari teman-temannya, dan bila harapannya itu tak kesampaian tak jarang ada yang nge-like sendiri. Ironis.

Sesungguhnya apakah mereka sadar, Tuhan telah memberikan ujian dalam hidup untuk mereka bersyukur dan memahami betapa Tuhan masih menyayanginya. Tuhan juga berfirman bahwa cobaan itu takkan melebih kemampuan hamba-Nya. Ini mungkin yang tidak disadari oleh para pengeluh di tempat umum (baca: social media) itu.

Jikalau mereka menyadari fungsi cobaan dalam hidup kita di dunia ini, pastinya mereka akan malu bahkan lebih menyesal lagi telah membiarkan orang lain mengibanya. Kalau mereka masih percaya keesaan Tuhan, pasti mereka tidak membutuhkan media untuk mengeluh segala kesahnya, bahkan tak memerlukan juga orang lain mengetahui keluhannya. Bagi muslim, bisalah meluangkan waktu lima waktu sehari untuk sejenak melupakan kerasnya dunia dan curhat kepada sang Khalik atas apa yang dirasakan.

Hal di atas terlihat mudah secara teori tapi percayalah sulit diaplikasikan. Tetapi, apa salahnya sekedar mencoba, kan? Yang terpenting jangan terlalu mudah mengeluh karena Tuhan dan hamba-hambanya tidak menyukai makhluk lemah yang seakan tanpa daya meskipun punya potensi untuk berupaya.


Berhenti mengeluh, dan berupayalah.

Komentar

Postingan Populer