Meragukan Masa Depan "Three Lions"

Skuad lengkap Inggris Piala Eropa U-21 2013 (uefa.com)
Mencatat tiga kali kekalahan dan hanya mencetak satu gol melalui titik putih, menjadi rangkuman perjalanan tim nasional Inggris di bawah usia 21 dalam ajang EURO U-21 di Israel. Hasil tersebut semakin menguatkan keraguan para khalayak mengenai keampuhan Liga Premier menghasilkan pemain-pemain berkualitas bagi tim yunior dan senior “Tiga Singa”.

Tampil di Grup A bersama Italia, Norwegia, dan tuan rumah Israel, awalnya menyematkan ekspektasi tinggi bagi tim asuhan Stuart Pearce. Setidaknya, Wilfried Zaha cs. bisa memperbaiki prestasi dua tahun silam yang hanya mampu berpartisipasi hingga fase grup. Selain itu, statistik tidak terkalahkan sejak November 2011 dan selalu menang di sembilan laga terakhir tanpa kebobolan, jelas meningkatkan keyakinan publik Inggris akan prestasi membanggakan tim “Singa Muda”.

Akan tetapi, ketika turnamen berlangsung harapan demi harapan seakan sirna. Di pertandingan perdana, Inggris seakan didikte oleh pasukan muda Azzuri hingga mereka harus mengakui keunggulan Italia 0-1. Selanjutnya, dengan persentase penguasaan bola mencapai 65%, Jordan Henderson dkk malah memperlihatkan kelemahan mereka dalam penyelesaian akhir dan organisasi pertahanan, sehingga harus mengakui keefektifan Norwegia dengan skor mencolok 1-3. Terakhir, Israel semakin membenamkan Inggris di dasar klasemen setelah sukses mengalahkan “Tiga Singa” muda 0-1.

Hasil mengecewakan tersebut semakin membenamkan kualitas Liga Premier Inggris sebagai liga pemasok pemain-pemain handal untuk timnas negeri Ratu Elizabeth. Di level yunior, dalam dua tahun terakhir jelas tidak ada prestasi yang memuaskan. Di Swedia 2011 dan Israel 2013 timnas Inggris U-21 harus angkat koper di fase grup. Lalu di cabang sepakbola Olimpiade London 2012, dengan menyatukan pemain-pemain muda kawasan Britania Raya, mereka pun belum sanggup meraih medali di tanah sendiri. Di level senior prestasi “Tiga Singa” pun serupa. Hingga saat ini mereka masih belum aman untuk lolos ke Brazil 2014. Montenegro dan Ukraina bisa menjadi pengganjal langkah mereka, bila skuad Roy Hodgson gagal menyapu 4 laga sisa dengan kemenangan.

Padahal dilihat dari materi pemain yang dimiliki Inggris U-21 bukanlah pemain-pemain berkelas medioker. Disamping Jack Wilshere dan Alex-Oxlade Chamberlain yang telah promosi ke level senior, masih ada nama-nama macam Jordan Henderson, Jonjo Shelvey, Jack Butland, Danny Rose, dan Connor Wickham yang telah mencuri perhatian media-media Britania Raya berkat penampilan apiknya di Liga Premier dalam satu-dua musim terakhir. Juga, ada nama Tom Ince yang menjadi bintang di Divisi Championship bersama Blackpool, dan satu talenta masa depan Inggris, Wilfried Zaha, yang sukses mengantarkan Cristal Palace kembali ke Liga Premier. Zaha pun telah memincut Sir Alex Ferguson yang rela menebusnya ke Man. United dengan bandrol 15 juta poundsterling. Kehebatan pemain-pemain muda tersebut terasa hanya ke-lebay-an berita media-media Inggris ketika menyaksikan aksi mereka di pentas EURO U-21.

Di samping itu, prestasi tim nasional Inggris menjadi cermin betapa industrialisasi Liga Premier Inggris telah melencengkan tujuan awal liga untuk membentuk timnas yang kompetitif dan berprestasi. Di musim 2012/13 total 60% pemain dari luar Inggris. Dan apabila melihat persentase kesempatan bermain, total hanya 2,28% menit waktu bermain skuad U-21 “Tiga Singa” di panggung tertinggi kompetisi Inggris tersebut. Total hanya ada tiga klub; Arsenal (10,5%), Liverpool (9,8%), dan Southampton (6,25%), yang memiliki persentase bermain di atas 5% bagi anak-anak muda Inggris U-21. Bahkan Manchester City, Chelsea, Swansea, Stoke City, dan Wigan tidak sekalipun memainkan pemain-pemain lokal berlabel U-21 selama kampanye BPL musim lalu. Tersingkirnya pemain-pemain muda lokal merupakan dampak dari ambisi pemilik-pemilik klub untuk dapat bersaing di liga dan pentas Eropa. Mereka tidak terlalu percaya terhadap lulusan akademi, dan lebih menggantungkan harapannya kepada pemain-pemain impor yang notabene kualitasnya dihargai dengan nominal poundsterling yang tinggi.

Inilah ironi 20 tahun perjalanan Liga Premier Inggris. Disaat kompetisi terlihat gemerlap dan menyajikan persaingan kelas wahid, tim nasional Inggris masih berjalan di tempat tanpa prestasi, yang ada hanya ekspektasi tinggi ala media yang tidak kenal lelah menyanjung pemain-pemain tanpa menyadari hal itu akan sangat membebani mental pemain, terutama pemain-pemain muda.

Bandingkan dengan Belanda dan Italia, yang terlihat adem ayem tanpa ekspos berlebihan media. Bahkan prestasi klub-klub mereka di kancah Eropa pun cenderung menurun, sehingga belum mampu mengembalikan kejayaan mereka di dekade 90-an. Namun, Eredivisie dan Serie A Italia secara berkala menyajikan pemain-pemain bermutu bagi timnas yunior, yang selanjutnya promosi ke skuad senior. Sebut saja Kevin Strootman dan Georginio Wijnaldum di Belanda, serta Italia memiliki Marco Veratti dan Alessandro Florenzi.

Sekarang lah saatnya FA, selaku otoritas tertinggi sepakbola negara yang masyur dengan Big Ben itu, untuk membuat regulasi ketat terhadap kesempatan bermain pemain-pemain home-grown di laga Liga Premier karena semakin banyaknya pemain muda tampil di pertandingan kompetitif tentu akan memberi dampak positif bagi tim nasional. Sebagai tambahan pula, hal itu akan memberikan pilihan yang lebih beragam bagi pelatih tim nasional untuk menentukan 23 pemain yang pantas mengenakan seragam putih-putih dengan logo “Tiga Singa” di dada. Bila tidak, mungkin 10-15 tahun ke depan Inggris tidak lagi masuk dalam daftar unggulan di rumah taruhan sebagai calon juara ajang EURO dan Piala Dunia.



Komentar

Postingan Populer